Jumat, 18 Januari 2013

Bangunan Bersejarah di Kabupaten Batubara



1. Istana Lima Laras
            Sebuah situs peninggalan sejarah masyarakat Melayu pesisir. Istana ini lebih dikenal dengan nama Lima Laras. Meskipun namanya tidak sebesar dan tenar dari Istana Maimun di Medan, namun Istana yang dibangun pada tahun 1907 dan selesai 1912 ini, menyimpan kisah perjalanan dan perjuangan bangsa Indonesia, dimasa penjajahan Belanda. Terutama perjuangan masyarakat Melayu ketika itu.

Mengunjungi dan melihat langsung kondisi Istana Lima Laras di Tanjung Tiram, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara seakan berada di masa lalu. Tak heran Istana penuh nostalgia dan kenangan, ini masih dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun manca negara, ketika memasuki hari libur dan hari-hari besar. Datuk Muhammad Azminsyah (72), yang merupakan pemangku adat Melayu Istana Lima Laras saat ini. Datuk Muhammad Azminsyah adalah cucu dari pendiri Istana Lima Laras, Datuk Matyoeda, Raja ke XIII  dari Kerajaan Lima Laras.

Sesuai dengan namanya, Istana Lima Laras berada di Desa Lima Laras, Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batu Bara, Sumatra Utara. Walaupun sedikit terlihat usang, namun Istana Lima Laras masih berdiri kokoh, ditengah keberagaman dan kemajuan zaman saat ini. Bahkan umur Istana inipun telah mendekati 1 abad. Namun sayang istana yang sempat megah disepanjang abad 20 ini, kurang mendapat perhatian serius sebagai situs peninggalan sejarah budaya Melayu dan bangsa Indonesia .

Warna hijau dan sedikit kelihatan kusam pada bangunan Istana Lima Laras, seolah menjadi icon kemegahan Istana. Namun sayang itu hanya sebuah kiasan belaka. Bila kita memasuki bahagian dalam Istana Lima Laras ini, kondisinya sangat memprihatinkan. Lantai dan dinding bangunan Istana masih berbahan kayu, dan hampir sebahagian sudah lapuk tanpa perawatan bahkan rusak termakan usia. Padahal sesungguhnya bangunan Istana ini, sangat  mengagumkan. Hampir keseluruhan bahan bangunan Istana, menggunakan kayu ukiran bernuansa Melayu. Keseluruhan dinding, jendela, dan pintu, bentuknya sangat unik dan menakjubkan karena penuh dengan lukisan dan ukiran yang cantik.

Secara geografis, Istana Lima Laras menghadap ke arah Utara atau menghadap lautan. Istana ini memiliki empat anjungan dari empat arah mata angin. Sepintas bila dilihat dari depan, hampir mirip kapal yang berlayar di laut. Istana Lima Lima Laras memang masih terlihat megah, itu karena Istana ini dibangun dengan empat lantai di dalamnya. Lantai pertama terbuat dari beton, dilengkapi balai dan ruang atau tempat bermusyawarah masyarakat adat Melayu ketika masa pemerintahan Datuk Matyoeda. Di lantai dua, tiga dan empat terdapat sejumlah kamar dengan ukuran sekitar 6 x 5 meter. Kamar-kamar ini biasanya juga digunakan untuk para tamu kerjaan, yang datang berkunjung ke Istana Lima Laras. Sehingga jangan heran kalau Istana termegah di zaman kolonial Belanda ini, paling banyak pintu dan daun jendelanya. Ada sekitar 28 pintu dan 66 pasang daun jendela di Istana ini.

Untuk melihat lebih jelas dan detail lagi tentang Istana Lima Laras, kami pun di ajak oleh Amirsyah (35) menantu dari cucu Datuk Matyoeda berkeliling diruangan dalam Istana. Didalam ruangan tengah, terlihat sebuah tangga dengan model berputar yang terbuat dari kayu, tangga ini terlihat begitu indah. Seni ukiran dan model tangga, sudah menggunakan model dari Eropa. Namun 27 anak tangga diruangan Istana, juga masih berbahan dasar kayu. Inilah keunikan dan keistimewaan Istana Lima Laras. Namun sayang bila ingin berkunjung ke Istana yang pernah megah ini, jangan bayangkan masih bisa melihat tangga putar itu masih utuh. Beberapa anak tangga ada yang sudah rusak dan patah. Harus hati-hati bila ingin menuju ke lantai dasar Istana. "Konidisi istana memang sudah banyak yang rusak, namun perbaikan terus dilakukan pihak keluarga kami untuk menjaga keutuhan Istana.Renovasi terakhir dibantu oleh pemerintah Asahan tahun 1980 an dengan biaya perbaikan Rp 234 juta", terang Amirsyah kepada Medan Bisnis.

Padahal upaya melestarikan istana sangat penting mengingat sejarah dan nilai budaya yang dikandungnya. Istana Lima Laras tidak dihuni lagi. Malam hari, tidak ada penerangan berarti. Halaman istana juga ditumbuhi semak yang tingginya bisa mencapai satu meter lebih Terakhir kira-kira tahun 1998 dilakukan rehap genteng, selanjutnya karena kondisi keuangan keluarga, rehap Istana pun dilakukan secara kecil-kecilan.
Selain bangunan dan lantai Istana yang mulai usang, Singgasana dan perlengkapan ruangan Istana Lima Laras juga sudah tidak terliha lagi. Namun bukan rusak atau terjual, tetapi pihak keluarga kerjaan terpaksa harus menyimpan dan merawatnya agar tidak rusak. Datuk Muhammad Azminsyah (72) cucu kandung Datuk Matyoeda. Beliau beruntung masih menyimpan beberapa barang pusaka perlengkapan Istana milik kakeknya.
Seperti tempayan besar dengan ukiran naga, sejumlah barang pecah-belah, dua buah pedang dan sebuah tombak. Barang itu disimpan di rumahnya yang berjarak sekitar 100 meter dari istana. Istana Lima Laras sekarang ini memang tengah dalam tahap perbaikan. Lantai satu dan dua bagian belakang istana sudah diperbaiki dan dicat. 

Perbaikan kecil itu sifatnya hanya menunda kehancuran, sebab bangunan utama di bagian depan masih berantakan. Dinding-dinding sudah bercopotan papannya, demikian juga atap dan lantai. Beberapa tiang penyangga yang terbuat dari kayu pun bernasib serupa. Menurut Maddin, 70, yang sehari-hari menjaga istana tersebut, biaya perbaikan itu berasal dari pihak keluarga. "Bantuan pemerintah sudah lama tidak ada. Kalau hari-hari libur seperti lebaran, ada tambahan biaya perbaikan dari kutipan masuk Rp500 per orang," kata Maddin. 

Di depannya ada bangunan kecil tempat dua meriam berada. Hampir keseluruhan bangunan berarsitektur Melayu, terutama pada model atap dan kisi-kisinya. Akan tetapi ada juga beberapa bagian istana berornamen China. Kecuali batu bata, bahan bangunan seperti kaca untuk jendela dan pintu didatangkan dari luar negeri. 

Istana Lima Laras berada di atas tanah seluas 102 x 98 meter. Pendirinya Datuk Matyoeda, Raja ke XIII  dari Kerajaan Lima Laras yang lahir pada tahun 1883 dan akhirnya wafat pada tahun 1919. Tepatnya 7 tahun Istana Lima Laras berdiri dan menjadi pusat pemerintahan di Batubara. Makamnya pun masih dapat kita lihat dikawasan Istana Lima Laras. Datuk Matyoeda adalah putra tertua dari Raja sebelumnya, yakni Datuk H. Djafar gelar Raja Sri Indra. Menurut sejarah, kerajaan Lima Laras diperkirakan telah ada sejak abad ke XVI, dan tunduk pada Kesultanan Siak di Riau. Semula istana ini bernama Istana Niat Lima Laras, karena rencana pembangunannya berdasarkan niat Datuk Matyoeda untuk mendirikan sebuah istana kerajaan. Sebelumnya  pusat pemerintahan, sering berpindah-pindah karena belum punya istana yang permanen.

Niat Datuk Matyoeda untuk mendirikan istana bermula dari keputusan Belanda yang melarang para raja berdagang. Tidak jelas alasan larangan ini. Matyoeda yang kerap berdagang ke Malaysia, Singapura dan Thailand dan memiliki kapal besar tentu saja gusar. Apalagi pada saat keputusan keluar, beberapa armada dagangnya sedang berlayar ke Malaysia. Dengan adanya larangan ini, nasib kapal bersama isinya itu tidak terjamin lagi. Bisa disita Belanda setibanya kembali di Asahan, atau bisa tetap tinggal di Malaysia yang dulu masih bernama Malaka. 

Matyoeda berniat, jika dagangan terakhirnya selamat, hasilnya akan digunakan membangun istana. Rupanya kapalnya kembali dengan selamat. Maka dia kemudian membangun istana itu dengan biaya 150.000 gulden dan memimpin langsung pembangunan istana dengan mendatangkan 80 orang tenaga ahli dari China dan Pulau Penang, Malaysia serta sejumlah tukang dari sekitar lokasi pembangunan istana. Matyoeda bersama keluarga dan unsur pemerintahannya mendiami istana sejak 1917, walaupun pada saat itu istana masih belum rampung. Waktu wafatnya pada 7 Juni 1919, sekaligus penanda berakhirnya masa kejayaan kerajaan Lima Laras. Tahun 1942 tentara Jepang masuk Asahan dan menguasai istana.

Kekuasaan Jepang di Indonesia sejak Maret 1942 hingga 1945 mengakibatkan keadaan yang semakin carut-marut. Tiga hari setelah jatuhnya bom di Hiroshima, Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Di saat yang sama pula, diumumkanlah pemerintah Republik Indonesia dengan Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakilnya. Dengan demikian, dimulailah revolusi republik di seluruh wilayah Indonesia. Sebagian raja dan kesultanan dihabisi para kaum nasionalis dan bala tentara Jepang.

Keluarga Kesultanan Deli dan Serdang terselamatkan berkat penjagaan tentara Sekutu yang sedang bertugas di Medan untuk menerima penyerahan dari Jepang. Sementara di Serdang, beberapa orang keluarga raja sedari awal telah mendukung rakyat menentang Belanda.
Akan tetapi, di Langkat, Istana Sultan dan rumah-rumah kerabat diserang dan rajanya dibunuh bersama keluarganya termasuklah penyair besar Indonesia, Tengku Amir Hamzah yang dipancung  di         Kuala   Begumit. 

Keganasan yang paling dahsyat terjadi pada bulan Maret 1946 di Asahan dan di kerajaan-kerajaan Melayu di Labuhanbatu seperti Kualuh, Panai dan Kota Pinang. Di Labuhanbatu, daerah yang paling jauh dengan Kota Medan tidak dapat dilindungi asukan sekutu. Istana raja dikepung dan raja-rajanya pun dibunuh seperti Yang Dipertuan Tengku Al Haji Muhammad Syah (Kualuh), Sultan Bidar Alam Syah IV (Bilah), Sultan Mahmud Aman Gagar Alam Syah (Panai) dan Tengku Mustafa gelar Yang Dipertuan Besar Makmur Perkasa Alam Syah (Kota Pinang). 

Masa Agresi Militer II, istana Lima Laras kembali ke tangan Republik dan ditempati Angkatan Laut Republik Indonesia di bawah pimpinan Mayor Dahrif Nasution. 


2.  Meriam Puntung

            Abad ke-18, ditemukan di desa Bogak beberapa waktu lalu,juga didapati sejumlah meriam-meriam kuno yang sudah puluhan tahun terhampar tidak terawat pemerintah daerah (pemda). Di bawah sengatan terik matahari pantai di siang bolong, tim Arkeolog dari Balai Arkeologi Sumut di pimpinan Lucas Partanda Koestoro berusaha membersihkan sejumlah serpihan sisa-sisa kerangka kapal kuno yang ditemukan oleh warga setempat, Januari lalu. 

Lucas dan timnya mulai bekerja sejak Senin (3/2) lalu. Kedatangan mereka hanya untuk sekadar memverifikasi temuan kapal kuno itu. Dari berbagai bukti yang ditemukan tim ini, diakuinya memang ada indikasi memang kapal tersebut merupakan kapal kuno. Temuan bangkai kapal tua ini sebenarnya bukan sebuah temuan tanpa kesengajaan.Anda boleh percaya atau tidak, tapi inilah kenyataannya. 

Temuan kapal kuno itu berawal dari sebuah bisikan gaib dalam mimpi seorang pemuda desa tersebut bernama Idham di malam 1 Muharam 1429 H atau 10 Januari 2008 lalu. Bagi Idham, bisikan gaib dalam mimpi di malam Tahun Baru Islam itu bukan hanya sekadar bungabunga tidur. Namun, ini merupakan mimpi yang benar-benar menjadi kenyataan. 

Walaupun awalnya dia sedikit ragu akan kebenaran mimpi itu, yakni sebuah suara gaib yang memerintahkannya untuk memindahkan sebuah bangkai kapal dari dalam dasar bibir pantai Desa Bogak ke daratan pantai. “Saya memang awalnya ragu. Tapi karena didorong oleh suara tersebut yang terus terngiang-ngiang di telinga, membuat saya menjadi bertekad untuk melakukan penggalian,” katanya kepada SINDO kemarin. 

Hanya dengan bermodal semangat dan keingintahuan yang kuat untuk membuktikan bisikan dalam mimpinya, akhirnya pria warga Perumahan Nelayan (Perumnel) Desa Bogak itu pun memulai eksplorasinya. Pagi-pagi sekali, pemuda ini sudah terbangun. Dia pergi ke pantai dan membawa sejumlah peralatan untuk membuktikan kebenaran dari sebuah mimpinya tersebut. 

Sejumlah warga, kata dia, awalnya memang merasa aneh melihat apa yang dikerjakan laki-laki ini karena pagi-pagi sekali telah mengeruk pasir di bibir pantai.Warga pun baru tahu setelah dia berusaha menjelaskan bisikan gaib dalam mimpi tersebut. Mendengarnya,sebagian warga jelas saja ada yang percaya dan ada yang tidak. 

Dibantu sejumlah warga, pukul 08.00 WIB, eksplorasi dimulai. Akan tetapi, Idham bersama warga lainnya mulai pesimistis, ketika setelah lima jam penggalian tidak menunjukkan hasil apa pun. Namun, dengan semangat dan keyakinan yang tersisa, penggalian tetap dilanjutkan. Tanda-tanda kebenaran mimpi ini pun mulai terbukti setelah delapan jam kemudian penggalian dilakukan.Tepat pukul 04.00 WIB, sebagian dari tubuh kapal mulai kelihatan. 

“Begitu saya lihat, saya benar-benar gembira, ternyata mimpiku benar,” ujarnya. Selanjutnya, dia pun mengutus salah seorang warga untuk melaporkan kepada kepala desa setempat, Khairuddin. Antara percaya dengan tidak, Khairuddin pun meluncur ke lokasi. Dia baru yakin setelah melihat lunas (kerangka kapal) kapal kuno ini mulai muncul ke permukaan. 
Hari itu juga, tepat pukul 17. 25 WIB, barulah kerangka kapal tua ini akhirnya bisa diangkat ke atas permukaan. Kerangka kapal tua itu pun dibersihkan oleh warga. Secara fisik, menurut Khairuddin, kapal ini diperkirakan merupakan kapal kayu yang cukup besar. Struktur kayunya masih tampak kokoh walaupun diperkirakan telah mencapai ratusan tahun di dalam rendaman pasir dan air laut.

Keberhasilan warga menemukan bangkai kapal kuno ini sebenarnya bukan temuan yang pertama bagi warga Desa Bogak, Kec Talawi, Kab Batubara, dalam menemukan benda-benda kuno di sekitar lokasi pantai. Tiga hari sebelumnya, kata Khairuddin, warga juga menemukan sebuah meriam puntung di lokasi yang sama, di bibir pantai Desa Bogak tersebut, sebelum bangkai kapal kuno ini ditemukan. Tetapi tragisnya, meriam tersebut lenyap dua hari kemudian.

Menurutnya, usia meriam ini sudah cukup tua. Karena itu, ketika dia mendapat informasi dari warga ada temuan meriam tersebut, dia langsung menuju pantai. Namun, sampai di lokasi, warga telah memboyong meriam puntung tersebut ke rumah penyimpanan meriam puntung, yang disebut warga sebagai Kubah Meriam Puntung untuk disimpan di dalam rumah penyimpanan tersebut. 

Kubah ini telah berdiri sejak ratusan tahun lalu dan menjadi salah satu tempat yang dikeramatkan oleh warga Batubara.Tempat itu sempat menjadi salah satu lokasi objek wisata di kabupaten Asahan (sebelum pemekaran) karena dinilai memiliki nilai historis. Karena sudah kesorean, kata Khairuddin, meriam ini tidak sempat dimasukkan warga ke dalam kubah. 

Meriam itu diletakkan begitu saja di sekitar lokasi.Keesokannya, ketika Kepala Desa ini mau menyimpan meriam itu, benda bersejarah itu sudah lenyap. “Karena saya sibuk, sampai sekarang memang belum kami laporkan ke polisi untuk diusut,”ungkapnya. Dengan ditemukannya meriam puntung ini, seharusnya akan menambah koleksi meriam puntung yang memang telah ada sebelumnya di desa tersebut. 

Khairuddin mengatakan,bagi pemerintahan Desa Bogak, sebenarnya kehilangan meriam puntung itu bukan untuk yang pertama kali terjadi. Beberapa tahun yang lalu, meriam puntung di kubah keramat itu pun hilang. Dari empat buah meriam puntung yang ada di dalam kubah tersebut, dua di antaranya telah hilang. Besar kecurigaan, benda kuno bersejarah itu dicuri oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Namun,kasus ini tidak pernah diusut oleh Pemkab Asahan. Ini membuktikan karena tidak pernah adanya keseriusan pemda itu untuk melindungi cagar budaya. Arkeolog dari Balai Arkeologi Sumut, Lucas Partanda Koestoro mengatakan, dari hasil ekscavasi (penggalian) mereka di lokasi pantai Desa Bogak, memang pantas diduga kawasan ini menyimpan benda-benda cagar budaya.

Karena bukan hanya bangkai kapal kuno, tapi juga ditemukan serpihan alat pecahbelah kerangka rahang hewan yang belum teridentifikasi. Selain itu, juga ditemukan sejumlah benda lainnya, bahkan batu nisan kuno. Karena itu, dia memperkirakan bahwa Desa Bogak sebelumnya merupakan kawasan pelabuhan internasional yang telah ada dalam abad ke-18. 

Menurutnya, telah terjadi perdagangan internasional antara Batubara dan Asia daratan di abad itu. Kecamatan Tanjungtiram, Kab Batubara,merupakan sebuah bandar besar. Karena itu, menurut dia, gagasan untuk membangun pelabuhan internasional di Kabupaten Batubara oleh pemkab setempat saat ini hanya merupakan pengulangan sejarah. “Karena berdasarkan dari karakteristik struktur bangkai kapal kuno itu, tidak mungkin kapal ini dipergunakan di pelabuhan kecil,”kata Lucas.

3. Goa Jepang ( Bunker Jepang )


            Tahun 1942 tersebar berita penyerangan Jepang terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Para serdadu tentara Jepang menyerang dan menguasai tanah air khususnya di Sumatera Utara. Setelah berhasil mendarat melalui pantai Perupuk, meskipun waktu itu diberbagai tempat mendapat penjagaan ketat dari serdadu Belanda.

            Begitu sekilas sejarah Jepang menguasai NKRI. Setelah masuk melalui jalur laut dan mendarat di pantai Desil Perupuk kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batubara, hingga namanya sekarang dikenal dengan pantai Sejarah.

            Tentara Jepang sempat menguasai beberapa kawasan di Batubara seperti pasar Guntung yang kini menjadi Desa Guntung hingga ke Desa Bulan – Bulan yang dijadikan sebagai kawasan tempat latihan tentara mereka. Disamping itu Jepang juga membuat benteng pertahanan dipinggir pantai ini melalui kerja paksa sehingga banyak korban yang berjatuhan.

            Kemudian membangun terowongan bawah tanah dimana dulunya bisa tembus ke laut hingga akhirnya kemerdekaan NKRI diproklamasikan tepatnya tanggal 17 Agustus 1945.
            Fakta sejarah perjuangan di Batubara dibuktikan dengan masih adanya bangunan bersejarah seperti Bunker Jepang yang berdiri kokoh sampai sekarang. Hal ini tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi setiap wisatawan lokal maupun mancanegara yang berkunjung ke kawasan pantai ini.

            Sebagian masyarakat juga mengatakan Bunker itu merupakan pintu masuk dan keluar terowongan bawah tanah dimna masa itu dimanfaatkan tentara Jepang untuk melintas ketika Jepang menjajah NKRI.