Bangunan Bersejarah di Kabupaten Batubara
1.
Istana Lima Laras
Sebuah situs peninggalan sejarah
masyarakat Melayu pesisir. Istana ini lebih dikenal dengan nama Lima Laras.
Meskipun namanya tidak sebesar dan tenar dari Istana Maimun di Medan, namun
Istana yang dibangun pada tahun 1907 dan selesai 1912 ini, menyimpan kisah
perjalanan dan perjuangan bangsa Indonesia, dimasa penjajahan Belanda. Terutama
perjuangan masyarakat Melayu ketika itu.
Mengunjungi dan melihat langsung kondisi Istana Lima Laras
di Tanjung Tiram, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara seakan berada di masa
lalu. Tak heran Istana penuh nostalgia dan kenangan, ini masih dikunjungi oleh
wisatawan lokal maupun manca negara, ketika memasuki hari libur dan hari-hari
besar. Datuk Muhammad Azminsyah (72), yang merupakan pemangku adat Melayu
Istana Lima Laras saat ini. Datuk Muhammad Azminsyah adalah cucu dari pendiri
Istana Lima Laras, Datuk Matyoeda, Raja ke XIII dari Kerajaan Lima Laras.
Sesuai dengan namanya, Istana Lima Laras berada di Desa Lima
Laras, Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batu Bara, Sumatra Utara. Walaupun
sedikit terlihat usang, namun Istana Lima Laras masih berdiri kokoh, ditengah keberagaman
dan kemajuan zaman saat ini. Bahkan umur Istana inipun telah mendekati 1 abad.
Namun sayang istana yang sempat megah disepanjang abad 20 ini, kurang mendapat
perhatian serius sebagai situs peninggalan sejarah budaya Melayu dan bangsa
Indonesia .
Warna hijau dan sedikit kelihatan kusam pada bangunan Istana
Lima Laras, seolah menjadi icon kemegahan Istana. Namun sayang itu hanya sebuah
kiasan belaka. Bila kita memasuki bahagian dalam Istana Lima Laras ini,
kondisinya sangat memprihatinkan. Lantai dan dinding bangunan Istana masih
berbahan kayu, dan hampir sebahagian sudah lapuk tanpa perawatan bahkan rusak
termakan usia. Padahal sesungguhnya bangunan Istana ini, sangat
mengagumkan. Hampir keseluruhan bahan bangunan Istana, menggunakan kayu ukiran bernuansa
Melayu. Keseluruhan dinding, jendela, dan pintu, bentuknya sangat unik dan
menakjubkan karena penuh dengan lukisan dan ukiran yang cantik.
Secara geografis, Istana Lima Laras
menghadap ke arah Utara atau menghadap lautan. Istana ini memiliki empat
anjungan dari empat arah mata angin. Sepintas bila dilihat dari depan, hampir
mirip kapal yang berlayar di laut. Istana Lima Lima Laras memang masih terlihat
megah, itu karena Istana ini dibangun dengan empat lantai di dalamnya. Lantai pertama
terbuat dari beton, dilengkapi balai dan ruang atau tempat bermusyawarah
masyarakat adat Melayu ketika masa pemerintahan Datuk Matyoeda. Di lantai dua,
tiga dan empat terdapat sejumlah kamar dengan ukuran sekitar 6 x 5 meter.
Kamar-kamar ini biasanya juga digunakan untuk para tamu kerjaan, yang datang
berkunjung ke Istana Lima Laras. Sehingga jangan heran kalau Istana termegah di
zaman kolonial Belanda ini, paling banyak pintu dan daun jendelanya. Ada
sekitar 28 pintu dan 66 pasang daun jendela di Istana ini.
Untuk melihat lebih jelas dan detail
lagi tentang Istana Lima Laras, kami pun di ajak oleh Amirsyah (35) menantu
dari cucu Datuk Matyoeda berkeliling diruangan dalam Istana. Didalam ruangan
tengah, terlihat sebuah tangga dengan model berputar yang terbuat dari kayu,
tangga ini terlihat begitu indah. Seni ukiran dan model tangga, sudah
menggunakan model dari Eropa. Namun 27 anak tangga diruangan Istana, juga masih
berbahan dasar kayu. Inilah keunikan dan keistimewaan Istana Lima Laras. Namun
sayang bila ingin berkunjung ke Istana yang pernah megah ini, jangan bayangkan
masih bisa melihat tangga putar itu masih utuh. Beberapa anak tangga ada yang
sudah rusak dan patah. Harus hati-hati bila ingin menuju ke lantai dasar
Istana. "Konidisi istana memang sudah banyak yang rusak, namun perbaikan
terus dilakukan pihak keluarga kami untuk menjaga keutuhan Istana.Renovasi
terakhir dibantu oleh pemerintah Asahan tahun 1980 an dengan biaya perbaikan Rp
234 juta", terang Amirsyah kepada Medan Bisnis.
Padahal upaya melestarikan istana
sangat penting mengingat sejarah dan nilai budaya yang dikandungnya. Istana
Lima Laras tidak dihuni lagi. Malam hari, tidak ada penerangan berarti. Halaman
istana juga ditumbuhi semak yang tingginya bisa mencapai satu meter lebih
Terakhir kira-kira tahun 1998 dilakukan rehap genteng, selanjutnya karena
kondisi keuangan keluarga, rehap Istana pun dilakukan secara kecil-kecilan.
Selain bangunan dan lantai Istana yang mulai usang,
Singgasana dan perlengkapan ruangan Istana Lima Laras juga sudah tidak terliha
lagi. Namun bukan rusak atau terjual, tetapi pihak keluarga kerjaan terpaksa
harus menyimpan dan merawatnya agar tidak rusak. Datuk Muhammad Azminsyah (72)
cucu kandung Datuk Matyoeda. Beliau beruntung masih menyimpan beberapa barang
pusaka perlengkapan Istana milik kakeknya.
Seperti tempayan besar dengan ukiran naga, sejumlah
barang pecah-belah, dua buah pedang dan sebuah tombak. Barang itu disimpan di
rumahnya yang berjarak sekitar 100 meter dari istana. Istana Lima Laras
sekarang ini memang tengah dalam tahap perbaikan. Lantai satu dan dua bagian
belakang istana sudah diperbaiki dan dicat.
Perbaikan kecil itu sifatnya hanya
menunda kehancuran, sebab bangunan utama di bagian depan masih berantakan.
Dinding-dinding sudah bercopotan papannya, demikian juga atap dan lantai.
Beberapa tiang penyangga yang terbuat dari kayu pun bernasib serupa. Menurut
Maddin, 70, yang sehari-hari menjaga istana tersebut, biaya perbaikan itu
berasal dari pihak keluarga. "Bantuan pemerintah sudah lama tidak ada. Kalau
hari-hari libur seperti lebaran, ada tambahan biaya perbaikan dari kutipan
masuk Rp500 per orang," kata Maddin.
Di depannya ada bangunan kecil tempat
dua meriam berada. Hampir keseluruhan bangunan berarsitektur Melayu, terutama
pada model atap dan kisi-kisinya. Akan tetapi ada juga beberapa bagian
istana berornamen China. Kecuali batu bata, bahan bangunan seperti kaca untuk
jendela dan pintu didatangkan dari luar negeri.
Istana Lima Laras berada di atas tanah seluas 102 x 98
meter. Pendirinya Datuk Matyoeda, Raja ke XIII dari Kerajaan Lima Laras
yang lahir pada tahun 1883 dan akhirnya wafat pada tahun 1919. Tepatnya 7 tahun
Istana Lima Laras berdiri dan menjadi pusat pemerintahan di Batubara. Makamnya
pun masih dapat kita lihat dikawasan Istana Lima Laras. Datuk Matyoeda adalah
putra tertua dari Raja sebelumnya, yakni Datuk H. Djafar gelar Raja Sri Indra.
Menurut sejarah, kerajaan Lima Laras diperkirakan telah ada sejak abad ke XVI,
dan tunduk pada Kesultanan Siak di Riau. Semula istana ini bernama Istana Niat
Lima Laras, karena rencana pembangunannya berdasarkan niat Datuk Matyoeda untuk
mendirikan sebuah istana kerajaan. Sebelumnya pusat pemerintahan, sering
berpindah-pindah karena belum punya istana yang permanen.
Niat Datuk Matyoeda untuk mendirikan istana bermula dari
keputusan Belanda yang melarang para raja berdagang. Tidak jelas alasan
larangan ini. Matyoeda yang kerap berdagang ke Malaysia, Singapura dan Thailand
dan memiliki kapal besar tentu saja gusar. Apalagi pada saat keputusan keluar,
beberapa armada dagangnya sedang berlayar ke Malaysia. Dengan adanya
larangan ini, nasib kapal bersama isinya itu tidak terjamin lagi. Bisa disita
Belanda setibanya kembali di Asahan, atau bisa tetap tinggal di Malaysia yang
dulu masih bernama Malaka.
Matyoeda berniat, jika dagangan
terakhirnya selamat, hasilnya akan digunakan membangun istana. Rupanya kapalnya
kembali dengan selamat. Maka dia kemudian membangun istana itu dengan biaya
150.000 gulden dan memimpin langsung pembangunan istana dengan mendatangkan 80
orang tenaga ahli dari China dan Pulau Penang, Malaysia serta sejumlah tukang
dari sekitar lokasi pembangunan istana. Matyoeda bersama keluarga dan unsur
pemerintahannya mendiami istana sejak 1917, walaupun pada saat itu istana masih
belum rampung. Waktu wafatnya pada 7 Juni 1919, sekaligus penanda berakhirnya
masa kejayaan kerajaan Lima Laras. Tahun 1942 tentara Jepang masuk Asahan dan
menguasai istana.
Kekuasaan Jepang di Indonesia sejak
Maret 1942 hingga 1945 mengakibatkan keadaan yang semakin carut-marut. Tiga
hari setelah jatuhnya bom di Hiroshima, Soekarno memproklamirkan kemerdekaan
Indonesia. Di saat yang sama pula, diumumkanlah pemerintah Republik Indonesia
dengan Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakilnya. Dengan demikian,
dimulailah revolusi republik di seluruh wilayah Indonesia. Sebagian raja dan
kesultanan dihabisi para kaum nasionalis dan bala tentara Jepang.
Keluarga Kesultanan Deli dan Serdang
terselamatkan berkat penjagaan tentara Sekutu yang sedang bertugas di Medan
untuk menerima penyerahan dari Jepang. Sementara di Serdang, beberapa orang
keluarga raja sedari awal telah mendukung rakyat menentang Belanda.
Akan tetapi, di Langkat, Istana Sultan
dan rumah-rumah kerabat diserang dan rajanya dibunuh bersama keluarganya
termasuklah penyair besar Indonesia, Tengku Amir Hamzah yang dipancung di Kuala Begumit.
Keganasan yang paling dahsyat terjadi
pada bulan Maret 1946 di Asahan dan di kerajaan-kerajaan Melayu di Labuhanbatu
seperti Kualuh, Panai dan Kota Pinang. Di Labuhanbatu, daerah yang paling jauh
dengan Kota Medan tidak dapat dilindungi asukan sekutu. Istana raja dikepung
dan raja-rajanya pun dibunuh seperti Yang Dipertuan Tengku Al Haji Muhammad
Syah (Kualuh), Sultan Bidar Alam Syah IV (Bilah), Sultan Mahmud Aman Gagar Alam
Syah (Panai) dan Tengku Mustafa gelar Yang Dipertuan Besar Makmur Perkasa Alam
Syah (Kota Pinang).
Masa Agresi Militer II, istana Lima
Laras kembali ke tangan Republik dan ditempati Angkatan Laut Republik Indonesia
di bawah pimpinan Mayor Dahrif Nasution.
2. Meriam Puntung
Lucas dan timnya mulai
bekerja sejak Senin (3/2) lalu. Kedatangan mereka hanya untuk sekadar
memverifikasi temuan kapal kuno itu. Dari berbagai bukti yang ditemukan tim
ini, diakuinya memang ada indikasi memang kapal tersebut merupakan kapal kuno.
Temuan bangkai kapal tua ini sebenarnya bukan sebuah temuan tanpa
kesengajaan.Anda boleh percaya atau tidak, tapi inilah kenyataannya.
Temuan kapal kuno itu
berawal dari sebuah bisikan gaib dalam mimpi seorang pemuda desa tersebut
bernama Idham di malam 1 Muharam 1429 H atau 10 Januari 2008 lalu. Bagi Idham,
bisikan gaib dalam mimpi di malam Tahun Baru Islam itu bukan hanya sekadar
bungabunga tidur. Namun, ini merupakan mimpi yang benar-benar menjadi
kenyataan.
Walaupun awalnya dia
sedikit ragu akan kebenaran mimpi itu, yakni sebuah suara gaib yang
memerintahkannya untuk memindahkan sebuah bangkai kapal dari dalam dasar bibir
pantai Desa Bogak ke daratan pantai. “Saya memang awalnya ragu. Tapi karena
didorong oleh suara tersebut yang terus terngiang-ngiang di telinga, membuat
saya menjadi bertekad untuk melakukan penggalian,” katanya kepada SINDO
kemarin.
Hanya dengan bermodal
semangat dan keingintahuan yang kuat untuk membuktikan bisikan dalam mimpinya,
akhirnya pria warga Perumahan Nelayan (Perumnel) Desa Bogak itu pun memulai
eksplorasinya. Pagi-pagi sekali, pemuda ini sudah terbangun. Dia pergi ke
pantai dan membawa sejumlah peralatan untuk membuktikan kebenaran dari sebuah
mimpinya tersebut.
Sejumlah warga, kata
dia, awalnya memang merasa aneh melihat apa yang dikerjakan laki-laki ini
karena pagi-pagi sekali telah mengeruk pasir di bibir pantai.Warga pun baru
tahu setelah dia berusaha menjelaskan bisikan gaib dalam mimpi tersebut.
Mendengarnya,sebagian warga jelas saja ada yang percaya dan ada yang tidak.
Dibantu sejumlah warga,
pukul 08.00 WIB, eksplorasi dimulai. Akan tetapi, Idham bersama warga lainnya
mulai pesimistis, ketika setelah lima jam penggalian tidak menunjukkan hasil
apa pun. Namun, dengan semangat dan keyakinan yang tersisa, penggalian tetap
dilanjutkan. Tanda-tanda kebenaran mimpi ini pun mulai terbukti setelah delapan
jam kemudian penggalian dilakukan.Tepat pukul 04.00 WIB, sebagian dari tubuh
kapal mulai kelihatan.
“Begitu saya lihat,
saya benar-benar gembira, ternyata mimpiku benar,” ujarnya. Selanjutnya, dia
pun mengutus salah seorang warga untuk melaporkan kepada kepala desa setempat,
Khairuddin. Antara percaya dengan tidak, Khairuddin pun meluncur ke lokasi. Dia
baru yakin setelah melihat lunas (kerangka kapal) kapal kuno ini mulai muncul
ke permukaan.
Hari itu juga, tepat
pukul 17. 25 WIB, barulah kerangka kapal tua ini akhirnya bisa diangkat ke atas
permukaan. Kerangka kapal tua itu pun dibersihkan oleh warga. Secara fisik,
menurut Khairuddin, kapal ini diperkirakan merupakan kapal kayu yang cukup
besar. Struktur kayunya masih tampak kokoh walaupun diperkirakan telah mencapai
ratusan tahun di dalam rendaman pasir dan air laut.
Keberhasilan warga
menemukan bangkai kapal kuno ini sebenarnya bukan temuan yang pertama bagi warga
Desa Bogak, Kec Talawi, Kab Batubara, dalam menemukan benda-benda kuno di
sekitar lokasi pantai. Tiga hari sebelumnya, kata Khairuddin, warga juga
menemukan sebuah meriam puntung di lokasi yang sama, di bibir pantai Desa Bogak
tersebut, sebelum bangkai kapal kuno ini ditemukan. Tetapi tragisnya, meriam
tersebut lenyap dua hari kemudian.
Menurutnya, usia meriam
ini sudah cukup tua. Karena itu, ketika dia mendapat informasi dari warga ada
temuan meriam tersebut, dia langsung menuju pantai. Namun, sampai di lokasi,
warga telah memboyong meriam puntung tersebut ke rumah penyimpanan meriam
puntung, yang disebut warga sebagai Kubah Meriam Puntung untuk disimpan di
dalam rumah penyimpanan tersebut.
Kubah ini telah berdiri
sejak ratusan tahun lalu dan menjadi salah satu tempat yang dikeramatkan oleh
warga Batubara.Tempat itu sempat menjadi salah satu lokasi objek wisata di
kabupaten Asahan (sebelum pemekaran) karena dinilai memiliki nilai historis.
Karena sudah kesorean, kata Khairuddin, meriam ini tidak sempat dimasukkan
warga ke dalam kubah.
Meriam itu diletakkan
begitu saja di sekitar lokasi.Keesokannya, ketika Kepala Desa ini mau menyimpan
meriam itu, benda bersejarah itu sudah lenyap. “Karena saya sibuk, sampai
sekarang memang belum kami laporkan ke polisi untuk diusut,”ungkapnya. Dengan
ditemukannya meriam puntung ini, seharusnya akan menambah koleksi meriam
puntung yang memang telah ada sebelumnya di desa tersebut.
Khairuddin
mengatakan,bagi pemerintahan Desa Bogak, sebenarnya kehilangan meriam puntung
itu bukan untuk yang pertama kali terjadi. Beberapa tahun yang lalu, meriam
puntung di kubah keramat itu pun hilang. Dari empat buah meriam puntung yang
ada di dalam kubah tersebut, dua di antaranya telah hilang. Besar kecurigaan,
benda kuno bersejarah itu dicuri oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Namun,kasus ini tidak
pernah diusut oleh Pemkab Asahan. Ini membuktikan karena tidak pernah adanya
keseriusan pemda itu untuk melindungi cagar budaya. Arkeolog dari Balai
Arkeologi Sumut, Lucas Partanda Koestoro mengatakan, dari hasil ekscavasi
(penggalian) mereka di lokasi pantai Desa Bogak, memang pantas diduga kawasan
ini menyimpan benda-benda cagar budaya.
Karena bukan hanya
bangkai kapal kuno, tapi juga ditemukan serpihan alat pecahbelah kerangka
rahang hewan yang belum teridentifikasi. Selain itu, juga ditemukan sejumlah
benda lainnya, bahkan batu nisan kuno. Karena itu, dia memperkirakan bahwa Desa
Bogak sebelumnya merupakan kawasan pelabuhan internasional yang telah ada dalam
abad ke-18.
Menurutnya, telah
terjadi perdagangan internasional antara Batubara dan Asia daratan di abad itu.
Kecamatan Tanjungtiram, Kab Batubara,merupakan sebuah bandar besar. Karena itu,
menurut dia, gagasan untuk membangun pelabuhan internasional di Kabupaten Batubara
oleh pemkab setempat saat ini hanya merupakan pengulangan sejarah. “Karena
berdasarkan dari karakteristik struktur bangkai kapal kuno itu, tidak mungkin
kapal ini dipergunakan di pelabuhan kecil,”kata Lucas.
3. Goa Jepang ( Bunker Jepang )
Begitu
sekilas sejarah Jepang menguasai NKRI. Setelah masuk melalui jalur laut dan
mendarat di pantai Desil Perupuk kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batubara,
hingga namanya sekarang dikenal dengan pantai Sejarah.
Tentara
Jepang sempat menguasai beberapa kawasan di Batubara seperti pasar Guntung yang
kini menjadi Desa Guntung hingga ke Desa Bulan – Bulan yang dijadikan sebagai
kawasan tempat latihan tentara mereka. Disamping itu Jepang juga membuat
benteng pertahanan dipinggir pantai ini melalui kerja paksa sehingga banyak
korban yang berjatuhan.
Kemudian
membangun terowongan bawah tanah dimana dulunya bisa tembus ke laut hingga
akhirnya kemerdekaan NKRI diproklamasikan tepatnya tanggal 17 Agustus 1945.
Fakta
sejarah perjuangan di Batubara dibuktikan dengan masih adanya bangunan
bersejarah seperti Bunker Jepang yang berdiri kokoh sampai sekarang. Hal ini
tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi setiap wisatawan lokal maupun
mancanegara yang berkunjung ke kawasan pantai ini.
Sebagian
masyarakat juga mengatakan Bunker itu merupakan pintu masuk dan keluar
terowongan bawah tanah dimna masa itu dimanfaatkan tentara Jepang untuk
melintas ketika Jepang menjajah NKRI.
blogger anda ini sangat bermanfaat bagi saya pribadi karena saya merupakan putra daerah yang sudah lama meninggalkan batu bara yang sekarang menetap di jakarta
BalasHapus.....terima kasih
Saya warga malaysia yg bernikah dengan salah seorang warga indonesia n suami saya asalnya dari kabupaten batu bara.sememangnya saya berasa bangga dengan sejarah batu bara.sebenarnya saya sendiri pelik mengapa tidak di urus tempat sejarahnya.padahal ia merupakan tempat sejarah yang bisa dibanggakan.saya selalu pulang ke kampung suami dan tidak melepaskan peluang untuk melihat tempat sejarah tersebut.saya amat menyukai sejarah indonesia.
BalasHapusTerimakasi dah menyukai sejarah indonesia.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapustidak ada perhatian pemerintah sedikitpun mengenai bukti2 peninggalan yang bersejarah di kabupaten batu bao tu, tenggoklah kondisi ghumah datok di limo laghas to,, tebengkalai,, khwatir bukti sejarah akan hilang lenyap begitu saja
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusAmat menarik cerita tentang kab. batu bara ini,..menguat sebuat histories sejarah yang telah hilang,..oia apakan penulis juga menemukan bukti sejarah lain dr ketjamatan Lima Poeloeh, seperti Uang tahun 1947 yang di gunakan pada Ketjamatan Lima Poeloeh dahulu dan dokumen-dokumen lainnya,.. saya rasa menarik kalau penulis juga menemukan itu..terima kasih...
BalasHapusSemoga lahir pemimpin yang tahu arti sejarah, khususnya generasi pemuda batubara.
BalasHapus