Suku Banjar di Kalimantan
A.
Latar Belakang
Latar belakang kami mengambil
pembahasan untuk bahan diskusi kami suku Banjar di Kalimantan adalah karena
suku Banjar merupakan salah satu suku di Indonesia yang banyak orang kurang
mengetahui tentang suku tersebut. Mengenai asal usul suku tersebut banyak orang
tidak mengetahuinya.
Suku bangsa
Banjar (bahasa
Banjar: Urang Banjar atau bahasa Dayak Ngaju: Oloh Masih) adalah suku bangsa atau
etnoreligius Muslim yang
menempati sebagian besar wilayah Provinsi Kalimantan
Selatan, dan sejak abad ke-17 mulai menempati sebagian Kalimantan Tengah dan
sebagian Kalimantan
Timur terutama kawasan dataran
rendah dan bagian hilir dari Daerah Aliran Sungai (DAS) di wilayah tersebut. Perkampungan
Banjar juga dapat ditemukan di Kalimantan Barat misalnya di kelurahan Banjar Serasan dan di
pedalaman Sabah misalnya Kampung Banjar di Keningau. Suku Banjar
terkadang juga disebut Melayu Banjar, tetapi penamaan tersebut jarang
digunakan.
Suku bangsa Banjar berasal dari daerah Banjar yang
merupakan pembauran masyarakat DAS Bahau (koreksi: DAS Bahan/DAS Negara), Das
Barito, DAS Martapura dan DAS Tabanio. Sungai Barito bagian hilir merupakan
pusatnya suku Banjar. Kemunculan suku Banjar bukan hanya sebagai konsep etnis
tetapi juga konsep politis, sosiologis, dan agamis. Secara liguistik, bahasa yang
digunakan suku Banjar merupakan perpaduan rumpun
bahasa Melayik dan Barito Raya.
Sejak abad ke-19, suku Banjar mulai
bermigrasi ke banyak tempat di Kepulauan Melayu dan
mendirikan kantong-kantong pemukiman di sana.
B.
Sejarah
Suku Banjar
Secara
liguistik suku Banjar serumpun dengan suku Kedayan, Dayak
Kendayan (logat Dayak: Kanayatn), Dayak Iban, dan rumpun Melayu Lokal (termasuk
Dayak Meratus) yaitu rumpun
bahasa Melayik. Mitologi suku
Dayak Meratus (Dayak Bukit) menyatakan bahwa Suku Banjar
(terutama Banjar Pahuluan) dan Suku Bukit merupakan keturunan dari dua kakak
beradik yaitu Si Ayuh (Sandayuhan) yang menurunkan suku Bukit dan Bambang
Basiwara yang menurunkan suku Banjar. Dalam khasanah cerita prosa rakyat
berbahasa Dayak Meratus ditemukan legenda yang sifatnya mengakui atau bahkan
melegalkan keserumpunan genetika (saling berkerabat secara geneologis) antara
orang Banjar dengan orang Dayak Meratus. Dalam cerita prosa rakyat berbahasa
Dayak Meratus dimaksud terungkap bahwa nenek moyang orang Banjar yang bernama
Bambang Basiwara adalah adik dari nenek moyang orang Dayak Meratus yang bernama
Sandayuhan. Bambang Basiwara digambarkan sebagai adik yang berfisik lemah tapi
berotak cerdas. Sedangkan Sandayuhan digambarkan sebagai kakak yang berfisik
kuat dan jago berkelahi. Sesuai dengan statusnya sebagai nenek-moyang atau
cikal-bakal orang Dayak Maratus, maka nama Sandayuhan sangat populer di
kalangan orang Dayak Meratus. Banyak sekali tempat-tempat di seanteropegunungan
Meratus yang sejarah keberadaannya diceritakan berasal-usul
dari aksi heroik Sandayuhan. Salah satu di antaranya adalah tebing batu
berkepala tujuh, yang konon adalah penjelmaan dari Samali’ing, setan berkepala
tujuh yang berhasil dikalahkannya dalam suatu kontak fisik yang sangat
menentukan. Orang Banjar merupakan keturunan Dayak yang telah memeluk Islam
kemudian mengadopsi budaya Jawa, Melayu, Bugis dan Cina.
Menurut Denys
Lombard, pada jaman kuna sebagian besar penduduk Kalimantan Selatan (terutama
daerah Batang Banyu) merupakan keturunan pendatang dari Jawa. Pendapat lain
menyatakan, suku Banjar jejak akarnya dari Sumatera lebih dari 1500 tahun yang
lampau. Djoko Pramono menyatakan bahwa suku Banjar berasal dari suku Orang Laut yang
menetap di Kalimantan Selatan.
Suku bangsa Banjar
diduga berasal mula dari penduduk asal Sumatera atau
daerah sekitarnya, yang membangun tanah air baru di
kawasan Tanah
Banjar(sekarang wilayah provinsi Kalimantan Selatan) sekitar
lebih dari seribu tahun yang lalu. Setelah berlalu masa yang lama sekali
akhirnya,–setelah bercampur dengan penduduk yang lebih asli, yang biasa
dinamakan sebagai suku Dayak, dan dengan
imigran-imigran yang berdatangan belakangan–terbentuklah setidak-tidaknya tiga
subsuku, yaitu Banjar Pahuluan, Banjar Batang Banyu,
dan Banjar Kuala.
Nama Banjar diperoleh karena mereka
dahulu (sebelum kesultanan Banjar dihapuskan pada tahun 1860) adalah
warga Kesultanan Banjarmasin atau
disingkat Banjar, sesuai
dengan nama ibukotanya pada mula berdirinya. Ketika ibukota dipindahkan ke arah
pedalaman (terakhir di Martapura), nama
tersebut nampaknya sudah baku atau tidak berubah lagi.
Sejak abad
ke-19, suku Banjar migrasi ke pantai timur Sumatera dan Malaysia, tetapi di
Malaysia Barat, suku Banjar digolongkan ke dalam suku Melayu, hanya di Tawau (Sabah, Malaysia
Timur) yang masih menyebut diriya suku Banjar. Di Singapura, suku Banjar
sudah luluh ke dalam suku Melayu.
C.
Subsuku Banjar
a. Banjar Pahuluan
Sangat mungkin
sekali pemeluk Islam sudah ada
sebelumnya di sekitar keraton yang
dibangun di Banjarmasin, tetapi
pengislaman secara massal diduga terjadi setelah raja Pangeran Samudera yang
kemudian dilantik menjadi Sultan Suriansyah, memeluk Islam
diikuti warga kerabatnya, yaitu bubuhan raja-raja. Perilaku raja
ini diikuti elit ibukota, masing-masing tentu menjumpai penduduk yang lebih
asli, yaitu suku
Dayak Bukit, yang dahulu diperkirakan mendiami lembah-lembah sungai
yang sama. Dengan memperhatikan bahasa yang dikembangkannya, suku Dayak Bukit
adalah satu asal usul dengan cikal bakal suku Banjar, yaitu sama-sama berasal
dari Sumatera atau
sekitarnya, tetapi mereka lebih dahulu menetap. Kedua kelompok masyarakat
Melayu ini memang hidup bertetangga, tetapi setidak-tidaknya pada masa
permulaan, pada asasnya tidak berbaur. Jadi, meskipun kelompok Suku Banjar
(Pahuluan) membangun pemukiman di suatu tempat, yang mungkin tidak terlalu jauh
letaknya daribalai suku Dayak Bukit, namun masing-masing merupakan
kelompok yang berdiri sendiri.
Untuk
kepentingan keamanan, atau karena
memang ada ikatan kekerabatan, cikal bakal suku Banjar membentuk komplek
pemukiman tersendiri. Komplek pemukiman cikal bakal suku Banjar (Pahuluan) yang
pertama ini merupakan komplek pemukiman bubuhan, yang pada
mulanya terdiri dari seorang tokoh yang berwibawa sebagai kepalanya, dan warga
kerabatnya, dan mungkin ditambah dengan keluarga-keluarga lain
yang bergabung dengannya. Model yang sama atau hampir sama juga terdapat pada
masyarakat balai di kalangan masyarakat Dayak Bukit, yang pada
asasnya masih berlaku sampai sekarang. Daerah lembah sungai-sungai yang berhulu
di Pegunungan
Meratus ini nampaknya wilayah pemukiman
pertama masyarakat Banjar, dan di daerah inilah konsentrasi penduduk yang
banyak sejak zaman kuno, dan daerah inilah yang dinamakan Pahuluan.
Apa yang dikemukakan di atas menggambarkan terbentuknya masyarakat (Banjar)
Pahuluan, yang tentu saja dengan kemungkinan adanya unsur Dayak Bukit ikut
membentuknya.
b.
Banjar
Batang Banyu
Masyarakat Banjar Batang Banyu
terbentuk diduga erat sekali berkaitan dengan terbentuknya pusat kekuasaan yang
meliputi seluruh wilayah Banjar, yang barangkali terbentuk mula pertama di
hulu sungai
Negara atau cabangnya yaitu sungai Tabalong. Sebagai warga
yang berdiam diibukota tentu
merupakan kebanggaan tersendiri, sehingga menjadi kelompok penduduk yang
terpisah. Daerah tepi
sungai Tabalong adalah merupakan tempat tinggal tradisional dari suku
Dayak Maanyan (dan Lawangan), sehingga
diduga banyak yang ikut serta membentuk subsuku Batang Banyu, di samping tentu
saja orang-orang asal Pahuluan yang
pindah ke sana dan para pendatang yang datang dari luar. Bila di Pahuluan
umumnya orang hidup dari bertani (subsistens), maka banyak di antara penduduk Batang
Banyu yang bermata pencarian sebagaipedagang dan
pengrajin.
c.
Banjar
Kuala
Ketika pusat
kerajaan dipindahkan ke Banjarmasin (terbentuknya Kesultanan Banjarmasin), sebagian
warga Batang Banyu (dibawa) pindah ke pusat kekuasaan yang baru ini dan
bersama-sama dengan penduduk sekitar keraton yang sudah ada sebelumnya,
membentuk subsuku Banjar. Di kawasan ini mereka berjumpa dengan suku Dayak Ngaju, yang seperti
halnya dengan masyarakat Dayak Bukit dan masyarakat Dayak Maanyan atau Lawangan, banyak di
antara mereka yang akhirnya melebur ke dalam masyarakat Banjar, setelah mereka
memeluk agama Islam. Mereka yang
bertempat tinggal di sekitar ibukota kesultanan inilah sebenarnya yang
dinamakan atau menamakan dirinya orang Banjar, sedangkan
masyarakat Pahuluan dan masyarakat Batang Banyu biasa menyebut dirinya sebagai
orang (asal dari) kota-kota kuno yang terkemuka dahulu. Tetapi bila berada di
luar Tanah
Banjar, mereka itu tanpa kecuali mengaku sebagai orang Banjar.
Berbeda dengan
pendapat Alfani
Daud, yang menyatakan bahwa inti suku Banjar adalah para
pendatang Melayu dari Sumatera dan
sekitarnya, maka pendapat Idwar Saleh justru lebih menekankan bahwa penduduk asli suku
Dayak adalah inti suku Banjar yang kemudian bercampur membentuk kesatuan
politik sebagaimana Bangsa Indonesia dilengkapi dengan bahasa Indonesia-nya.
Demikian kita
dapatkan keraton keempat adalah lanjutan dari kerajaan
Daha dalam bentuk kerajaan Banjar Islam dan
berpadunya suku Ngaju, Maanyan dan Bukit sebagai inti. Inilah penduduk Banjarmasih ketika
tahun 1526 didirikan. Dalam amalgamasi (campuran)
baru ini telah bercampur unsur Melayu, Jawa, Ngaju,
Maanyan, Bukit dan suku kecil lainnya diikat oleh agama Islam,
berbahasa Banjar dan adat
istiadat Banjar oleh difusi kebudayaan yang ada dalam keraton. Di sini kita
dapatkan bukan suku Banjar, karena kesatuan etnik itu tidak ada, yang ada
adalah grup atau kelompok besar yaitu kelompok Banjar Kuala, kelompok Banjar
Batang Banyu dan Banjar Pahuluan.
Yang pertama
tinggal di daerah Banjar Kuala sampai dengan daerah Martapura. Yang kedua
tinggal di sepanjang sungai Tabalong dari
muaranya di sungai
Barito sampai dengan Kelua. Yang ketiga tinggal di kaki
pegunungan Meratus dari Tanjung sampai Pelaihari. Kelompok
Banjar Kuala berasal dari kesatuan-etnik Ngaju, kelompok Banjar Batang Banyu
berasal dari kesatuan-etnikMaanyan, kelompok
Banjar Pahuluan berasal dari kesatuan etnik Bukit. Ketiga ini adalah intinya.
Mereka menganggap lebih beradab dan menjadi kriteria dengan yang bukan Banjar,
yaitu golongan Kaharingan, dengan ejekan
orang Dusun, orang Biaju, Bukit dan
sebagainya.
Ketika Pangeran Samudera mendirikan
kerajaan Banjar, ia dibantu oleh orang Ngaju, dibantu patih-patihnya seperti
Patih Belandean, Patih Belitung, Patih Kuwi dan sebagainya serta orangBakumpai yang
dikalahkan. Demikian pula penduduk Daha yang
dikalahkan sebagian besar orang Bukit dan Maanyan. Kelompok ini diberi agama
baru yaitu agama Islam, kemudian mengangkat sumpah setia kepada raja, dan
sebagai tanda setia memakai bahasa ibu baru dan
meninggalkan bahasa ibu lama. Jadi orang Banjar itu bukan kesatuan etnis tetapi
kesatuan politik, seperti bangsa Indonesia.
D.
Sosio Historis Suku Banjar
Secara
sosio-historis masyarakat Banjar adalah kelompok sosial heterogen yang
terkonfigurasi dari berbagai sukubangsa dan ras yang selama ratusan tahun telah
menjalin kehidupan bersama, sehingga kemudian membentuk identitas etnis (suku)
Banjar. Artinya, kelompok sosial heterogen itu memang terbentuk melalui proses
yang tidak sepenuhnya alami (priomordial), tetapi juga dipengaruhi oleh
faktor-faktor lain yang cukup kompleks.
Islam telah
menjadi ciri masyarakat Banjar sejak berabad-abad yang silam. Islam juga telah
menjadi identitas mereka, yang membedakannya dengan kelompok-kelompok Dayak
yang ada di sekitarnya, yang umumnya masih menganut religi sukunya. Memeluk
Islam merupakan kebanggaan tersendiri, setidak-tidaknya dahulu, sehingga
berpindah agama di kalangan masyarakat Dayak dikatakan
sebagai "babarasih" (membersihkan diri) di samping menjadi orang
Banjar.
Masyarakat
Banjar bukanlah suatu yang hadir begitu saja, tapi ia merupakan konstruksi
historis secara sosial suatu kelompok manusia yang menginginkan suatu komunitas
tersendiri dari komunitas yang ada di kepulauan Kalimantan. Etnik Banjar
merupakan bentuk pertemuan berbagai kelompok etnik yang memiliki asal usul
beragam yang dihasilkan dari sebuah proses sosial masyarakat yang ada di daerah
ini dengan titik berangkat pada proses Islamisasi yang dilakukan oleh Demak sebagai
syarat berdirinya Kesultanan Banjar. Banjar sebelum
berdirinya Kesultanan Islam Banjar belumlah bisa dikatakan sebagai sebuah
ksesatuan identitas suku atau agama, namun lebih tepat merupakan identitas yang
merujuk pada kawasan teritorial tertentu yang menjadi tempat tinggal.
Suku Banjar
yang semula terbentuk sebagai entitas politik terbagi 3 grup
(kelompok besar) berdasarkan teritorialnya dan unsur pembentuk suku berdasarkan
persfektif kultural dan genetis yang menggambarkan percampuran penduduk
pendatang dengan penduduk asli Dayak:
1.
Grup Banjar Pahuluan adalah campuran
orang Melayu-Hindu dan orang Dayak Meratus yang berbahasa Melayik (unsur
Dayak Meratus/Bukit sebagai ciri kelompok)
2.
Grup Banjar Batang Banyu adalah
campuran orang Pahuluan, orang Melayu-Hindu/Buddha, orang Keling-Gujarat, orang
Dayak Maanyan, orang Dayak Lawangan, orang Dayak Bukit dan orang Jawa-Hindu
Majapahit (unsur Dayak Maanyan sebagai ciri kelompok)
3.
Grup Banjar Kuala adalah campuran orang
Kuin, orang Batang Banyu, orang Dayak Ngaju (Berangas, Bakumpai), orang Kampung
Melayu, orang Kampung Bugis-Makassar, orang Kampung Jawa, orang Kampung Arab,
dan sebagian orang Cina
Parit yang masuk Islam (unsur Dayak Ngaju sebagai ciri
kelompok). Proses amalgamasi masih berjalan hingga sekarang di dalam grup
Banjar Kuala yang tinggal di kawasan Banjar Kuala - kawasan yang dalam
perkembangannya menuju sebuah kota metropolitan yang menyatu (Banjar Bakula).
E.
Kebudayaan
Suku Banjar
Kehidupan
orang Banjar terutama kelompok Banjar Kuala dan Batang Banyu lekat dengan
budaya sungai. Sebagai sarana transportasi, orang Banjar mengembangkan beragam
jukung (perahu) sesuai dengan fungsinya yakni Jukung Pahumaan, Jukung
Paiwakan, Jukung Paramuan, Jukung Palambakan, Jukung Pambarasan, Jukung
Gumbili, Jukung Pamasiran, Jukung Beca Banyu, Jukung Getek, Jukung Palanjaan,
Jukung Rombong, Jukung/Perahu Tambangan, Jukung Undaan, Jukung Tiung dan
lain-lain. Kondisi geografis Kalimantan Selatan yang banyak memiliki sungai
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh orang Banjar, sehingga salah satu
keahlian orang Banjar adalah mengolah lahan pasang surut menjadi kawasan budi
daya pertanian dan permukiman. Sistem irigasi khas orang Banjar yang
dikembangkan masyarakat Banjar mengenal tiga macam kanal. Pertama, Anjir (ada
juga yang menyebutnya Antasan) yakni semacam saluran primer yang menghubungkan
antara dua sungai. Anjir berfungsi untuk kepentingan umum dengan titik berat
sebagai sistem irigasi pertanian dan sarana transportasi. Kedua, Handil (ada
juga yang menyebut Tatah) yakni semacam saluran yang muaranya di sungai atau di
Anjir. Handil dibuat untuk menyalurkan air ke lahan pertanian daerah daratan. Handil
ukurannya lebih kecil dari Anjir dan merupakan milik kelompok atau bubuhan
tertentu. Ketiga, Saka merupakan saluran tersier untuk menyalurkan air yang
biasanya diambil dari Handil. Saluran ini berukuran lebih kecil dari Handil dan
merupakan milik keluarga atau pribadi.
F.
Rumah Suku Banjar
Rumah Banjar adalah
rumah tradisional suku Banjar. Arsitektur tradisional ciri-cirinya antara lain
mempunyai perlambang, mempunyai penekanan pada atap, ornamental, dekoratif dan
simetris. Rumah tradisonal Banjar adalah tipe-tipe rumah khas Banjar dengan
gaya dan ukirannya sendiri mulai berkembang sebelum tahun 1871 sampai
tahun 1935. Dari sekian
banyak jenis-jenis rumah Banjar, tipe Bubungan Tinggi merupakan
jenis rumah Banjar yang paling dikenal dan menjadi identitas rumah adat suku
Banjar.
G.
Tradisi lisan Suku
Banjar
Tradisi lisan
oleh Suku Banjar sangat dipengaruhi oleh budaya Melayu, Arab, dan Cina. Tradisi lisan
Banjar (yang kemudian hari menjadi sebuah kesenian) berkembang sekitar abad
ke-18 yang di antaranya adalah Madihin dan Lamut. Madihin
berasal dari bahasa
Arab, yakni madah yang artinya pujian.
Madihin merupakan puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau
dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu
sesuai dengan konvensi yang berlaku secara khusus dalam khasanah folklor Banjar
di Kalsel. Sedangkan Lamutadalah sebuah
tradisi berkisah yang berisi cerita tentang pesan dan nilai-nilai keagamaan,
sosial dan budaya Banjar. Lamut berasal dari negeri Cina dan
mulanya menggunakan bahasa Tionghoa. Namun,
setelah dibawa ke Tanah Banjar oleh
pedagang-pedagang Cina, maka bahasanya disesuaikan menjadi bahasa Banjar.
Suku
Banjar mengenal sastra lisan dalam bentuk mantra (magic word) yang dimaksudkan
untuk memperoleh suatu kekuatan yang dapat menguntungkan bagi orang yang
membacanya. Dalam agama manusia cenderung menyerahkan dirinya kepada Tuhan,
sedangkan kepercayaan pada ilmu gaib manusia cenderung berusaha menguasai
kekuatan-kekuatan yang melebihi kekuatannya sebagai sarana pencapaian maksud
hidupnya. Mantra dalam budaya Banjar tidak semata-mata dipergunakan untuk
kepentingan pengucapnya, karena sering terdapat mantra yang mengandung nilai
positif dan efek penyembuhan.
Sastra
lisan berupa mantra-mantra ampuh supaya setiap pekerjaan mendapatkan hasil yang
cukup dan memuaskan berhubungan dengan kerja yang akan dihadapi. Misalnya
munculnya mantra menyadap nira, mantra menangkap buaya, mantra mengambil madu,
mantra menjinakkan ular, mantra bisik semar, mantra untuk mempercantik wanita,
mantra pembungkam, dan mantra yang cukup menakutkan namanya yaitu mantra kata
mayat.
Mantra
biasanya diwariskan secara turun temurun atau diberikan kepada orang yang
berguru dari pemilik mantra. Pada umumnya mantra memaparkan tentang adat
istiadat, kepercayaan, tradisi masa lampau, mata pencaharian, dan segala aspek
kehidupan.
Pada
mulanya mantra timbul dari imajinasi dalam alam kepercayaan animisme yang yakin
adanya hantu dan benda-benda keramat. Mungkin karena suku Banjar dulunya pernah
menganut agama Kaharingan yang mengakui adanya dua kekuatan, kekuatan alam atas
dan kekuatan alam bawah.
Mantra
yang diucapkan bisa mengandung ilmu hitam dan ilmu putih. Para pemilik mantra
ilmu putih biasanya para ulama, tuan guru, tatabiban (balai pengobatan
tradisional) atau para dukun untuk mengobati penyakit yang datang menyerang.
Sedangkan ilmu hitam seperti parang maya, balah saribu, gantung sarindit dan
tundik, pemiliknya tidak begitu diketahui masyarakat luas. Orang yang terkena
mantra hitam ini akan sering sakit-sakitan, tidak sadar, gila, dan berbagai
penyakit menakutkan tidak wajar lainnya.
Untuk
suku Banjar yang menganut agama Islam penggunaan mantra selalu didahului
ucapan Bismillah dan diakhiri la ilaha ilalah muhammad
rasulullah.Berikut contoh mantra bagi calon ibu yang susah melahirkan,
mantra ini bernama mantra peluncur melahirkan:
“Bismillahirrahmanirrahim/Nun kalamun walayar turun/Insya Allah inya ilang aritan/Inya turun/brakat La Ilaha Ilallah Muhammadurrasulullah “. Mantra peluncur melahirkan ini biasanya dimiliki oleh para bidan kampung dan selalu dibaca saat membantu persalinan. Menjelang kelahiran, bidan akan terus menerus membaca mantra tersebut. Mantra minimal dibaca 3 kali secara berulang-ulang ditiupkan ke dalam air putih dalam botol atau gelas. Air yang sudah diberi mantra tadi akan diusapkan ke perut wanita yang akan melahirkan. Sedangkan mantra untuk membantu persalinan bayi sungsang sebagai berikut :
” Bismillahirrahmanirrahim/Bungkalang-bungkaling/Tampurung bulu-bulu/Takalang-tapaling/Kaluar tadahulu/Barakat La Ilaha Ilalallah Muhammadarrasulullah“
“Bismillahirrahmanirrahim/Nun kalamun walayar turun/Insya Allah inya ilang aritan/Inya turun/brakat La Ilaha Ilallah Muhammadurrasulullah “. Mantra peluncur melahirkan ini biasanya dimiliki oleh para bidan kampung dan selalu dibaca saat membantu persalinan. Menjelang kelahiran, bidan akan terus menerus membaca mantra tersebut. Mantra minimal dibaca 3 kali secara berulang-ulang ditiupkan ke dalam air putih dalam botol atau gelas. Air yang sudah diberi mantra tadi akan diusapkan ke perut wanita yang akan melahirkan. Sedangkan mantra untuk membantu persalinan bayi sungsang sebagai berikut :
” Bismillahirrahmanirrahim/Bungkalang-bungkaling/Tampurung bulu-bulu/Takalang-tapaling/Kaluar tadahulu/Barakat La Ilaha Ilalallah Muhammadarrasulullah“
Mantra
untuk menjaga anak kecil dari gangguan roh jahat atau apabila diyakini sakitnya
seorang anak akibat gangguan roh jahat, sebagai berikut :” Bismillahirrahmanirrahim/Wahai
parang, bilamana terjadi sesuatu nang kejahatan/Mangganggu kanak-kanak guring
maka minta tulung pada para supaya parang manimpasakan kajahatannya/Barakat La
Ilaha Ilallah Muhammadurrasulullah“. Dalam pelaksanaan mantra ini disiapkan
sebuah parang (mandau) dibuat tanda silang dengan kapur sirih (cacak burung).
Parang tersebut diletakkan di bawah ayunan anak yang sedang tidur. Mantra
dibaca sebanyak 3 kali dan ditiupkan pada pada parang tersebut sebanyak 3 kali
pula.
Demikian
sekilas mengenai tradisi membaca mantra dalam budaya Banjar, masih banyak
mantra yang lain. Apabila ingin mengetahuinya silakan tulis di kolom komentar
siapa tahu kami bisa menemukan mantra yang dimaksud.
H.
MAKNA UNGKAPAN TRADISIONAL SUKU
BANJAR
Ungkapan tradisional
adalah salah satu cara yang khusus digunakan oleh masyarakat sebagai nasihat,
teguran, dorongan dan berbagaiaspek lainnya yang berhubungan dengan keinginan
dari masyarakat itu sendiri untuk menjaga keseimbangan, kesejahteraan hidup bersama,
keadilan serta berbagai keinginan lainnya yang tujuannyauntukkebaikan dan
kemajuan bersama pula.dari ungkapan tradisional kita dapat pula mengetahui
betapa cermatnya nenek moyang kitadi jaman dahulu mempersiapkan angkatan
mudanya untuk mampu berperan di masyarakat.
Sebagaimana diungkapkan dalam bab terdahulu, bahwa bahasa Banjar tidak
mempunyai bahasa tersendiri. Suku banjar merupakan kelompok terbesar ,menyebar
pada setiap daerah kabupatenbahkan keluar wilayah provinsi Kalimantan selatan.
Tidak mengherankan kalau bahasa banjar merupakan lingua franca, menjadi alat komunikasi antar penduduk yang utama.
Secara dealektis, bahasa banjar (BB) biasanya dibedakan atas bahasa banjar
kuala (BBK) dan bahasa banjar hulu (BBH) .perbedaannya yakni jika BBK persentuhanya
lebih terbuka dengan bahasa lain,terutama dengan bahasa indonesia yang secara
aktif dipakai oleh penutur BBK dalam pergaulan antar kelompok etnis dari
luarwilayah sudah tentu lebih memungkinkan terjadinya perubahan. Sedang bagi
BBH perubahan ini kalaupun ada prosesnya jauh lebih lamban. Dari kenyataan
sekarang BBK lebih mirip dengan bahasa Indonesia, bahkan vocal BBK sama dengan
vocal yang terdapat dalam bahasa Indonesia (BI).
Contohnya :
Bahasa banjar kuala bahasa banjar hulu bahasa Indonesia
Kramat karamat kramat
Krupuk karupuk krupuk
Praktek praktik praktek
Traktor taraktor traktor
Trak trak truk
Contoh ungkapan-ungkapan :
1. Anaknya
itik, umanya angsa (anaknya bebek, sedangkan ibunya angsa)
Makna ungkapan ini adalah seorang anak yang pandai,
berasal dari orang tua yang pandai pula. Ungkapan ini dipakai sebagai
puji-pujian kepada orang tuayang berhasil dalam mendidik anak-anaknya.jadi
dengan ungkapan ini orang-orang yang telah mempunyai anak disarankan untuk mengembangkan
sifat-sifat luhur dengan cara mengikutsertakan orang lain dalam rangka mendidik
anak-anaknya supaya keelak menjadi manusia berguns.
2. Bagaimana
maruwak banyu di bumbung (seperti menuangkan air dalam batang bambu)
Makna ungkapan ini adalah berbicara terus menerus
tanpa memberi kesempatan kepada orang lain di dalam suatu musyawarah. Adapun
maksud ungkapan ini adalah sebagai sindiran terhadap orang yang ingin memborong
pembicaraan dalam suatu musyawarah,
Sehingga seakan-akan ingin memaksakan kehendaknya
sendiri saja.sementara itu orang yang lain juga punya buah pikiran tidak diberi
kesempatan sedikit pun juga untuk berbicara.
Masyarakat pendukung
ungkapan-ungkapan ini sampai sekarang masih memegang teguh nilai yang
terkandung didalamnya dan dijadikan landasan hidup bermasyarakat. Ungkapan ini
jelas mempunyai kaitan dengan salah satu sila yang terdapat didalam pancasila,
karena dengan jelas ia telah menggambarkan bagaimana seharusnya manusia
bertingkah laku supaya menjadi manusia yang tahu haknya dan menghargai hak
orang lain, yaitu sila keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia .
A. Ungkapan
Tradisional Daerah Banjar yang Mengandung Nilai Religius (agama)
Dari
beberapa informan, penulis mencatat beberapa ungkapan yang mengandung nilai
religius, yaitu antara lain:
1.
“Balang Kambingan”
Ungkapan di atas,
mencerminkan perilaku seseorang yang tidak teratur kegiatan hidupnya terutama
dalam hal beribadah kepada Allah (salat). Orang seperti ini, cenderung bersifat
malas, artinya salat yang ia kerjakan itu tidak rutin. Dia hanya akan
mengerjakan salat, apabila ada keinginan atau pada waktu-waktu tertentu saja.
Pesan agama yang dapat diambil pada ungkapan itu adalah hendaknya kita selaku
muslim dapat mengerjakan salat setiap waktu, dan dikerjakan dengan penuh
keikhlasan semata-mata karena Allah, SWT serta tidak merasa terbebani oleh
kewajiban dari Allah, SWT.
2.
“Mancaricit Banar”
Tuturan di atas,
identik dengan seseorang yang dianggap lancar dan fasih dalam membaca Al-Quran.
Kelancaran dan kefasihan tersebut, diperlihatkan dari lagu yang ia lantunkan
dan dari kelafalan huruf-huruf uang ia ucapkan.Adapun pesan agama yang
disampaikan pada ungkapan di atas adalah menyeru kepada kita (umat Islam) agar
senantiasa belajar membaca Al-Quran dengan baik dan benar guna menunjang ibadah-ibadah
lain yang mayoritas diawali dan diakhiri dengan membaca Al-Quran.ibadah-ibadah lain
yang mayoritas diawali dan diakhiri dengan membaca Al-Quran.
3.
“Bajuju”
Ungkapan
di atas, merupakan antonym dari mancaricit, yaitu ungkapan yang menggambarkan
tidak lancar dan tidak fasihnya seseorang dalam melantunkan ayat-ayat suci
Al-Quran.
Sedangkan
pesan religius yang disampaikan pada ungkapan di atas adalah sama dengan pesan
yang ada pada ungkapan “mancaricit” yaitu agar kita berusaha atau belajar
membaca Al-Quran dengan baik dan benar.
4.
“Bunyi
Paalimnya”
Terkadang
manusia merasa lebih pintar dan lebih tahu daripada orang lain. Kalau dia
pernah belajar tentang ilmu agama, maka ia akan selalu menampakkan kelebihannya
itu. Ia cendrung berbuat dan bertindak menurut kata hatinya, tanpa mau
mendengar dan menghargai pendapat orang lain. Orang seperti ini selalu ingin
dihormati, ia juga merasa terhina kalau diberi nasihat, dan dikritik oleh orang
lain.
Pesan
atau nilai religius yang terkandung dalam ungkapan tersebut adalah bahwa kita
selaku hamba Tuhan, harus menuntut ilmu dan menggunakan ilmu tersebut untuk
kepentingan orang banyak, serta tidak merasa diri paling tahu tentang segala
hal terutama tentang ilmu agama Islam.
5.
“Hatinya
Barasih”
Arti dari
ungkapan di atas adalah seseorang yang tulus dan ikhlas atau ketika dia
menolong orang lain, dilandasi oleh rasa kemanusiaan dan tidak mengharapkan
imbalan apa-apa. Sedangkan nila religius yang terkandung pada ungkapan tersebut
agar kita selaku muslim, harus saling tolong dan saling Bantu. Dalam ajaran
Islam, dijelaskan bahwa orang islam itu bersaudara. Oleh sebab itu, apabila
muslim yang satu sakit maka yang lain pun turut merasakannya dan membantu untuk
meringankan penderitaan saudaranya tersebut.
6.
“Sudah
Nasibnya”
Ungkapan
di atas, mencerminkan seseorang yang sudah putus asa. Ia selalu gagal dalam
setiap usahanya. Segala cara dan upaya telah ia lakukan, tetapi hasilnya tetap
saja nihil. Nilai religius yang disampaikan pada ungkapan di atas adalah agar
kita senantiasa tetap bersabar dalam berusaha dan diselingi doa kepada sang
pencipta serta yakin kalau Tuhan akan selalu memberikan yang terbaik kepada
setiap hamba-Nya yang bersabar.
7. “Mawiwir Anggit Urang”
Dalam
hokum Islam, seseorang yang mengambil kepunyaan orang lain yang bukan hal
miliknya disebut zolim. Sifat yang merugikan orang lain itu, perlu kita
tinggalkan guna kelangsungan hidup bermasyarakat dan beragama.
Pernyataan
di atas, kiranya sangat tepat dengan ungkapan “Mawiwir Anggit Urang”. Seorang
hamba Tuhan, tidak akan menikmati indahnya surga, selama dalam hatinya masih
ada tersisa hak orang lain yang ambil tanpa sepengetahuan dan tanpa seizing
pemiliknya. Adapun ajaran agama yang dapat kita teladani dari ungkapan itu
adalah senantiasa bersikap adil terhadap sesama manusia, tidak mengambil atau
mengaku kepunyaan orang yang bukan milik kita, dan laksanakanlah Amar Ma’ruf
Nahi Munkar.
B. Ungkapan Tradisional Daerah Banjar yang Mengandung Nilai
Sosial Kemasyarakatan
Penulis
juga mencatat beberapa ungkapan yang mengandung nilai social. Nilai-nilai
sosial itu diungkapkan oleh beberapa informan yang memahami tentang etika
pergaulan sekaligus adanya realita yang sangat memprihatinkan dalam masyarakat
sekarang. Adapun ungkapan tradisional daerah Banjar yang mengandung nilai-nilai
social adalah :
1.“Ambak-ambak Bakut, Maharayani
Jua”
Dalamnya
lautan, dapat diukur tetapi diamnya hati manusia tidak dapat diterka. Seseorang
yang banyak dian tentu akan berdampak baik bagi dirinya bahkan bagi orang lain.
Lain halnya dengan ungkapan di atas, “Ambak-ambak Bakut” melambangkan seseorang
yang mempunyai sifat pendiam namun membahayakan (diam-diam bernada negatif).
Orang seperti ini cendrung untuk selalu menutup diri. Dia tidak ingin orang
lain mengetahui jati dirinya. Dengan sifat diam, dua berusaha untuk mengelabui
semua orang yang pada dasarnya mempunyai perilaku tidak baik dan salah satunya
adalah selalu ingin menang sendiri.
Sedangkan
nilai sosial yang dapat kita ambil dari ungkapan itu adalah agar kita selalu
terbuka dengan orang lain dan senantiasa bersikap baik guna mempercepat
hubungan silaturrahmi dalam masyarakat, sehingga akan tercapai suatu kondisi
yang dinamis dan kondusif.
2.“Manyadia Haja”
Manusia
adalah makhluk sosial yang saling memerlukan. Tidak ada seorang pun yang mampu
hidup sendiri, tanpa bantuan orang (zoon Politicon).Oleh karena itu, sikap
saling tolong, harus kita lestarikan. Jangan berpaku tangan untuk mengharap
jasa orang lain. Jangan mau enaknya sendiri, bekerjalah bersama demi
kepentingan masyarakat. Pantaslah, jika ungkapan di atas menyerukan kepada kita
untuk selalu tenggang rasa dan berlaku adil demi kerukunan bermasyarakat.
Orang
Banjar pada zaman dahulu pernah berpesan “Jangan Manyadia Haja” artinya jangan
terima bersihnya saja dan jangan mau enaknya saja. Orang lain bekerja, dia yang
menikmatinya. Orang lain yang bersusah payah, dia yang tertawa. Nah, jangan
kita mempunyai sikap yang demikian sebab akan merugikan bagi diri kita sendiri
bahkan bagi orang lain.
3.
“Kada
Mambadai Salahnya, Ditumburakan Jua”
Dalam
masyarakat yang harmonis, sangat dituntut adanya saling pengertian atau
pemahaman antarsesama. Hal itu penting, karena untuk mempersatukan visi dan
misi yang telah dicanangkan. Contoh, apabila ada masalah sepele yang mungkin
merusak nilai persatuan dan kesatuan, supaya jangan dihiraukan atau
dibesar-besarkan. Hadapi masalah itu dengan kepala dingin dan saling percaya,
saling menerima dan saling terbuka. Anggap saja masalah yang sepele itu adalah
hal yang biasa dan dapat terjadi dimana dan kapan saja. Pada masyarakat Banjar
yang dikenal akrab, kebiasaan saling percaya merupakan tradisi lama yang
membudaya. Namun, pada saat ini sudah mulai pudar. Apalagi di saat memanasnya
politik di tanah air yang secara tidak langsung merembet ke Kalimantan Selatan.
Dari uraian itu, kiranya dapat kita ambil sebuah pelajaran (nilai sosial) yaitu
bahwa kita tidak boleh membesar-besarkan suatu masalah, demi keutuhan
persahabatan dan terlebih lagi keutuhan persaudaraan.
4.
“Panas-panas
Tahi Ayam”
Orang
yang digambarkan dengan ungkapan di atas adalah orang yang dalam pergaulan,
tidak berlaku konsekuen. Ketidakkonsekuenannya itu terjadi justru pada
saat-saat yang sangat penting. Misalnya, ketika ia melamat seorang gadis
(meminang), dia sangat ulet dan berusaha mendapatkan gadis impiannya itu.
Segala cara ia lakukan, janji-janji ia taburkan namun setelah orang tua sigadis
setuju dan menerima pinangannya tersebut, ia justru mundur dan membatalkan niatnya
tersebut, tanpa mengemukakan alasan-alasan yang masuk di akal. Adapun nilai
sosial yang dapat kita teladani dari ungkapan tersebut adalah hendaknya kita
tidak mengumbar janji untuk hal-hal yang belum tentu dapat kita laksanakan.
C.
Ungkapan Tradisional Daerah Banjar yang Mengandung Nilai Pendidikan
a.
“Kurang Akalan”
Ungkapan
di atas, sering ditujukan kepada seorang anak kecil yang belum bias membedakan
mana yangh baik dan mana yang buruk. Terkadang semua tindakannya itu, hanya
berdasarkan keinginan atau nafsu semata.
Dalam
tindakan itupun, nampak sekali bahwa dia belum mengerti manfaat ataupun resiko
yang dihadapi. Orang seperti ini, cendrung mempunyai sifat yang keras dan
sangat kecewaz jika tindak-tanduknya ditegur oleh orang lain. Adapun nilai
pendidikan yang terdapat pada ungkapan tersebut adalah hendaknya setiap orang
tua betul-betul memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Bimbinglah mereka dengan
penuh kasih saying tetapi bukan denganhal-hal yang berlebihan atau terlalu
dimanja. Dengan pendidikan yang baik itu, diharapkan kecerdasan anak akan
semakin bertambah dan ia bias menyesuaikan setiap tindakan dengan manfaat serta
akibat yang didapat.
b.
“Tatukar Kucing dalam Karung”
Dalam
setiap tindakannya, manusia haruslah hati-hati. Jangan memutuskan sesuatu yang
belum dipikirkan untung ruginya. Jangan melakukan tindakan sebelum
dipertimbangkan baik-buruknya. Ungkapan “Tatukat Kucing dalam karung”
mencerminkan seseorang yang tidak hati-hati dalam bertindak dan dalam
memutuskan sesuatu. Akibat dari tindakannya itu, justru penyesalan yang akan
didapat bukan keba-hagiaan. Jadi, sepantasnyalah kita berhati-hati dalam setiap
tindakan. Pikirkan untung ruginya dan persiapkan segala sesuatunya.
c.
“Kada
Mamak Dijarang”
Ungkapan
yang hampir sama denganistilah di atas adalah “Pambabal”. Kedua ungkapan
tersebut, mempunyai makna yang sama yaitu menggambarkan seseorang yang sangat
sulit diatur. Bedanya terletak pada siapa objeknya. Kalau pambabal, ditujukan
kepada anak kecil dan mamak dijarang ditujukan kepada selain anak kecil.
Sedangkan nilai pendidikan yang dapat kita ambil pada ungkapan di atas adalah
bahwa kita selaku makhluk sosial, harus selalu memperhatikan pendidikan demi
kelangsungan hidup. Hal itu beralasan, mengingat pendidikan merupakan kebutuhan
paling utama dan agar kita tidak pernah merasa ditipu orang lain.
d.
“Patuh
Mambarakat”
Ungkapan
yang sama dengan istilah di atas adalah “Suka Mambawa Pulang”. Orang suka
mambarakat, dalam masyarakat Banjar sangatlah tidak terpuji. Contoh pada sebuah
acara syukuran (aruhan), orang yang sukja mambarakat akan berusaha membawa
makanan yang disediakan sebanyak-banyaknya. Dia tidak peduli dengan orang lain.
Dia juga tidak peduli, apakah akan diizinkan atau tidak oleh sipemilik makanan
tersebut. Pokoknya dia bias menikmati makanan itu dengabn sepuas-puasnya.
Adapun nilai pendidikan yang dapat kita ambil dari uraian di atas adalah supaya
kita jangan mempunyai sifat-sifat seperti yang dicontohkan di atas, karena di
samping sangat merugikan bagi orang lain, bagi dirinyapun akan demikian.
Orang-orang yang senang bersifat demikian cendrung tidak tahu dimalu dan selalu
berbuat sekehendak hatinya. Jadi jelas, bahwa kita harus menghormati orang
lain, menghormati hak orang lain, dan tidak semena-mena.
D.
Ungkapan Tradisional Daerah Banjar yang Mengandung Nilai Moral
1. “Liur Baungan ”
Sangat tepat, jika seseorang (orang tua) yang menyenangi daum muda diistilahkan dengan sebutan “Liur Baungan”. Orang seperti ini, cendrung tidak memiliki rasa malu dan selalu mementingkan diri sendiri. Dia sudah berkeluarga dan punya anak, masih saja menganggu perempuan lain. Usianya yang kebanyakan sudah tua, tidak membuat sadar dan koreksi terhadap diri sendiri. Perilaku yang menyimpang itu, menunjukkan betapa bejatnya moral seseorang. Adapun nilai etika atau moral yang dapat kita ambil dari ungkapan di atas adalah hendaknya berlaku wajar dalam kehidupan sehari-hari. Mencintai anak dan istri dengan penuh kasih saying. Tidak tergoda dengan gemerlapnya dunia. Dunia dan segala sisinya adalah fana, ia hanya bersifat sementara. Oleh sebab itu, berlaku dengan baik, koreksi diri, dan berbuatlah sesuatu yang lebih baik, guna kehidupan yang lebih abadi kelak.
Sangat tepat, jika seseorang (orang tua) yang menyenangi daum muda diistilahkan dengan sebutan “Liur Baungan”. Orang seperti ini, cendrung tidak memiliki rasa malu dan selalu mementingkan diri sendiri. Dia sudah berkeluarga dan punya anak, masih saja menganggu perempuan lain. Usianya yang kebanyakan sudah tua, tidak membuat sadar dan koreksi terhadap diri sendiri. Perilaku yang menyimpang itu, menunjukkan betapa bejatnya moral seseorang. Adapun nilai etika atau moral yang dapat kita ambil dari ungkapan di atas adalah hendaknya berlaku wajar dalam kehidupan sehari-hari. Mencintai anak dan istri dengan penuh kasih saying. Tidak tergoda dengan gemerlapnya dunia. Dunia dan segala sisinya adalah fana, ia hanya bersifat sementara. Oleh sebab itu, berlaku dengan baik, koreksi diri, dan berbuatlah sesuatu yang lebih baik, guna kehidupan yang lebih abadi kelak.
2. “Mambuu”
Ungkapan di atas, mencerminkan seseorang yang berlagak bodoh. Orang seperti ini, mempunyai sifat “malas”. Orang yang digambarkan dengan istilah di atas, cendrung tidakmau membantu orang lain. Dia hanya membantu orang, jika pekerjaannya itu dapat menguntungkan baginya atau membawa keberuntungan bagi diri pribadinya.
Ungkapan di atas, mencerminkan seseorang yang berlagak bodoh. Orang seperti ini, mempunyai sifat “malas”. Orang yang digambarkan dengan istilah di atas, cendrung tidakmau membantu orang lain. Dia hanya membantu orang, jika pekerjaannya itu dapat menguntungkan baginya atau membawa keberuntungan bagi diri pribadinya.
Sebalik- nya, jika pekerjaan itu
tidak menghasilkan apa-apa bagi dirinya maka dia akan menolak dan berdalih
bahwa dia tidak bias mengerjakannya. Nilai moral yang dapat diambil dari
ungkapan di atas adalah hendaknya ketika kita membantu orang lain, tidak memandang
ada atau tidaknya keuntungan yang diperoleh. Bantu dan tolonglah orang lain
dengan penuh keikhlasan dan rasa persaudaraan. Sehingga pada suatu saat nanti,
kita pun akan memperoleh perlakuan yang sama.
3. “Kada Igul-igul”
Ungkapan di atas, berhubungan erat dengan ungkapan “Ambak-ambak Bakut” dan “Manuliakan”. Ungkapan-ungkapan itu, mengandung pengertian yang pada dasarnya adalah sama. Khusus ungkapan “Kada Igul-igul”, menggambarkan seseorang yang tidak menghiraukan panggilan atau sapaan orang lain, bahkan dapat pula diartikan tidak mau mendengarkan nasihat orang lain. Orang seperti ini, terkadang bersifat acuh dan bersifat sombong bahkan (angkuh). Dia merasa tidak memerlukan teguran dan nasihat dari orang lain. Adapun nilai moral yang terdapat pada ungkapan ini adalah bahwasanya kita wajib menghormati orang lain. Menerima saran dan kritikan dari orang lain, dan tentunya tidak merasa diri paling hebat, serta menghargai orang lain sebagai wujud nyata dari perkembangan perilaku (moral) dalam kehidupan sehari-hari.
Ungkapan di atas, berhubungan erat dengan ungkapan “Ambak-ambak Bakut” dan “Manuliakan”. Ungkapan-ungkapan itu, mengandung pengertian yang pada dasarnya adalah sama. Khusus ungkapan “Kada Igul-igul”, menggambarkan seseorang yang tidak menghiraukan panggilan atau sapaan orang lain, bahkan dapat pula diartikan tidak mau mendengarkan nasihat orang lain. Orang seperti ini, terkadang bersifat acuh dan bersifat sombong bahkan (angkuh). Dia merasa tidak memerlukan teguran dan nasihat dari orang lain. Adapun nilai moral yang terdapat pada ungkapan ini adalah bahwasanya kita wajib menghormati orang lain. Menerima saran dan kritikan dari orang lain, dan tentunya tidak merasa diri paling hebat, serta menghargai orang lain sebagai wujud nyata dari perkembangan perilaku (moral) dalam kehidupan sehari-hari.
4. “Bamuha Kayu”
Bamuha Kayu, berarti tidak tahu malu. Seseorang yang dilukiskan dengan ungkapan-ungkapan di atas, adalah seseorang yang mempunyai kepercayaan diri terlalu tinggi dan sangat berlebihan.Dengan konfiden yang berlebihan tersebut, justru membuat dirinya lupa dan tidak perduli dengan hal-hal di sekitarnya. Terkadang ia ber-tindak dan berlaku tidak senonoh atau tidak semestinya bahkan cendrung merugikan orang lain. Adapun nilai moral pada ungkapan di atas adalah hendaknya kita memiliki rasa malu terhadap orang lain. Malu karena ucapan kita yang tidak bertata. Malu karena perilaku yang tidak beretika. Malu karena sifat dan sikap kita yang angkuh, dan malu karena tindak-tanduk kita merugikan orang lain.
Bamuha Kayu, berarti tidak tahu malu. Seseorang yang dilukiskan dengan ungkapan-ungkapan di atas, adalah seseorang yang mempunyai kepercayaan diri terlalu tinggi dan sangat berlebihan.Dengan konfiden yang berlebihan tersebut, justru membuat dirinya lupa dan tidak perduli dengan hal-hal di sekitarnya. Terkadang ia ber-tindak dan berlaku tidak senonoh atau tidak semestinya bahkan cendrung merugikan orang lain. Adapun nilai moral pada ungkapan di atas adalah hendaknya kita memiliki rasa malu terhadap orang lain. Malu karena ucapan kita yang tidak bertata. Malu karena perilaku yang tidak beretika. Malu karena sifat dan sikap kita yang angkuh, dan malu karena tindak-tanduk kita merugikan orang lain.
5 .“Carobo”
Istilah carobo, sering ditujukan kepada seseorang anak kecil yang dianggap tidak baik dalam bertutur kata. Setiap ucapan, dianggap tidak layak dan tidak semestinya dikeluarkan. Seseorang yang dilukiskan dengan istilah di atas, mayoritas mereka yang memang tidak berpendidikan, artinya kurang perhatian dari orang tua. Ucapannya yang tidak bertata itu, sering menimbulkan rasa jengkel dan marah setiap orang yang mendengarnya. Namun terkadang si anak yang berucap pun, tidak mengetahui maksud dari apa yang ia ucapkan. Ia hanya bias mengucapkan, tanpa tahu dengan persis arti atau makna yang ia ucapkan tersebut. Setiap kata-kata yang ia ucapkan (jijik), merupakan kata-kata yang tidak ia pelajari, melainkan sesuatu yang sering didengar dari orang dewasa. Sehingga dia dapat menirukan kata-kata tersebut. Adapun nilai moral yang dapat kita teladani dari ungkapan itu adalah agar kita menjaga mulut (setiap ucapan). Jangan sampai mengeluarkan kata-kata yang jorok (jijik). Di lain pihak, kita pun harus mengajarkan ucapanyang baik-baik kepada anak-anak kita.
Istilah carobo, sering ditujukan kepada seseorang anak kecil yang dianggap tidak baik dalam bertutur kata. Setiap ucapan, dianggap tidak layak dan tidak semestinya dikeluarkan. Seseorang yang dilukiskan dengan istilah di atas, mayoritas mereka yang memang tidak berpendidikan, artinya kurang perhatian dari orang tua. Ucapannya yang tidak bertata itu, sering menimbulkan rasa jengkel dan marah setiap orang yang mendengarnya. Namun terkadang si anak yang berucap pun, tidak mengetahui maksud dari apa yang ia ucapkan. Ia hanya bias mengucapkan, tanpa tahu dengan persis arti atau makna yang ia ucapkan tersebut. Setiap kata-kata yang ia ucapkan (jijik), merupakan kata-kata yang tidak ia pelajari, melainkan sesuatu yang sering didengar dari orang dewasa. Sehingga dia dapat menirukan kata-kata tersebut. Adapun nilai moral yang dapat kita teladani dari ungkapan itu adalah agar kita menjaga mulut (setiap ucapan). Jangan sampai mengeluarkan kata-kata yang jorok (jijik). Di lain pihak, kita pun harus mengajarkan ucapanyang baik-baik kepada anak-anak kita.
6. “Kada Sanonoh”
Ungkapan di atas, hampir sama dengan ungkapan “Carobo”. Bedanya, kalau carobo ditujukan kepada anak kecil danisi dari ucapan itu, tentang nilai rasa atau pantas tidak diucapkan oleh seorang anak kecil. Sedangkan ungkapan “Kada Sanonoh”, lebih ditekankan kepada orang yang sudah tua (dewasa) dan dari ucapannya itu, mengarah kepada perasaan hati seseorang (ada atau tidak seseorang yang merasa tersinggung). Ungkapan “Kada Senonoh”, mencerminkan seseorang yang setiap ucapannya mengandung maksud tertentu. Maksud tertentu itu misalnya ingin mengunjing orang, menyindir orang, atau pun memfitnah orang.
Ungkapan di atas, hampir sama dengan ungkapan “Carobo”. Bedanya, kalau carobo ditujukan kepada anak kecil danisi dari ucapan itu, tentang nilai rasa atau pantas tidak diucapkan oleh seorang anak kecil. Sedangkan ungkapan “Kada Sanonoh”, lebih ditekankan kepada orang yang sudah tua (dewasa) dan dari ucapannya itu, mengarah kepada perasaan hati seseorang (ada atau tidak seseorang yang merasa tersinggung). Ungkapan “Kada Senonoh”, mencerminkan seseorang yang setiap ucapannya mengandung maksud tertentu. Maksud tertentu itu misalnya ingin mengunjing orang, menyindir orang, atau pun memfitnah orang.
I.
Kesenian Suku Banjar
Salah satu seni teater tradisional
yang berkembang di Pulau Kalimantan adalah Mamanda. Mamanda adalah
seni teater atau pementasan tradisional yang berasal dari Kalimantan
Selatan. Dibanding dengan seni pementasan yang lain, Mamanda
lebih mirip dengan Lenong dari segi
hubungan yang terjalin antara pemain dengan penonton. Interaksi ini membuat
penonton menjadi aktif menyampaikan komentar-komentar lucu yang disinyalir
dapat membuat suasana jadi lebih hidup.
Bedanya,
Kesenian lenong kini lebih mengikuti zaman ketimbang Mamanda yang monoton pada
alur cerita kerajaan. Sebab pada kesenian Mamanda tokoh-tokoh yang dimainkan
adalah tokoh baku seperti Raja, Perdana Menteri, Mangkubumi, Wazir, Panglima
Perang, Harapan Pertama, Harapan kedua, Khadam (Badut/ajudan), Permaisuri dan
Sandut (Putri).
Tokoh-tokoh ini
wajib ada dalam setiap Pementasan. Agar tidak ketinggalan, tokoh-tokoh Mamanda
sering pula ditambah dengan tokoh-tokoh lain seperti Raja dari Negeri Seberang,
Perompak, Jin, Kompeni dan tokoh-tokoh tambahan lain guna memperkaya cerita.
Disinyalir
istilah Mamanda digunakan karena di dalam lakonnya, para pemain seperti Wazir,
Menteri, dan Mangkubumi dipanggil dengan sebutan pamanda atau mamanda oleh
Sang Raja. Mamanda secara etimologis terdiri dari kata "mama" (mamarina)
yang berarti paman dalam bahasa Banjar dan “nda”
yang berarti terhormat. Jadi mamanda berarti paman yang terhormat. Yaitu
“sapaan” kepada paman yang dihormati dalam sistem kekerabatan atau
kekeluargaan.
Salah satu
kesenian berupa musik tradisional khas Suku Banjar adalah Musik Panting. Musik ini
disebut Panting karena didominasi oleh alat musik yang dinamakan panting,
sejenis gambus yang memakai senar (panting) maka disebut musik panting. Pada
awalnya musik panting berasal dari daerah Tapin, Kalimantan Selatan. Panting
merupakan alat musik yang dipetik yang berbentuk seperti gabus Arab tetapi
ukurannya lebih kecil. Pada waktu dulu musik panting hanya dimainkan secara
perorangan atau secara solo. Karena semakin majunya perkembangan zaman dan
musik panting akan lebih menarik jika dimainkan dengan beberapa alat musik
lainnya, maka musik panting sekarang ini dimainkan dengan alat-alat musik
seperti babun, gong,dan biola dan pemainnya juga terdiri dari beberapa orang.
Nama musik panting berasal dari nama alat musik itu sendiri, karena pada musik
panting yang terkenal alat musik nya dan yang sangat berperan adalah panting,
sehingga musik tersebut dinamai musik panting. Orang yang pertama kali memberi
nama sebagai musik panting adalah A. SARBAINI. Dan sampai sekarang ini musik
panting terkenal sebagai musik tradisional yang berasal dari Kalimantan
Selatan.
Selain itu, ada
sebuah kesenian musik tradisional Suku Banjar, yakni Musik Kentung. Musik ini
berasal dari daerah Kabupaten Banjar yaitu di
desa Sungai Alat, Astambul dan
kampung Bincau, Martapura. Pada masa
sekarang, musik kentung ini sudah mulai langka. Masa dahulu alat musik ini
dipertandingkan. Dalam pertandingan ini bukan saja pada bunyinya, tetapi juga
hal-hal yang bersifat magis, seperti kalau dalam pertandingan itu alat musik
ini bisa pecah atau tidak dapat berbunyi dari kepunyaan lawan bertanding.
Seni Tari
Banjar terbagi menjadi dua, yaitu seni tari yang dikembangkan di lingkungan
istana (kraton), dan seni tari yang dikembangkan oleh rakyat. Seni tari kraton
ditandai dengan nama "Baksa" yang berasal dari bahasa Jawa (beksan)
yang menandakan kehalusan gerak dalam tata tarinya. Tari-tari ini telah ada
dari ratusan tahun yang lalu, semenjak zaman hindu, namun gerakan dan busananya
telah disesuaikan dengan situasi dan kondisi dewasa ini. Contohnya,
gerakan-gerakan tertentu yang dianggap tidak sesuai dengan adab islam mengalami
sedikit perubahan.
J.
Senjata
Tradisional Suku Banjar
1.
Serapang
Serapang adalah
tombak bermata lima mata dimana empat mata mekar seperti cakar elang dengan
bait pengait di tiap ujungnya. Satu mata lagi berada di tengah tanpa bait, yang
disebut “besi lapar” yang di percaya dapat merobohkan orang yang memiliki ilmu
kebal sekuat apapun.
2.
Tiruk
Tiruk adalah
tombak panjang lurus tanpa bait digunakan untuk berburu ikan haruan (ikan
gabus) dan toman di sungai.
3.
Pangambangan
Pangambangan
adalah tombak lurus bermata satu dengan bait di kedua sisinya.
4. Duha
Duha adalah
pisau bermata dua yang sering digunakan untuk berburu babi.
K.
Mitologi yang dipercayai masyarakat suku banjar di
Kalimantan
Masyarakat
Kalimantan banyak mempercayai mitos – mitos yang terjadi di daerah Kalimantan.
Hal itu dimulai dari nenek moyang mereka hingga sekarang. Berbagai mitos –
mitos yang dipercayai suku banjar dikalimantan ialah:
a.
Hewan Naga
Naga pada masyarakat suku banjar
dan suku dayak di simbolkan sebagai simbol alam bawah. Naga tersebut
digambarkan hidup didalam air dan di tanah. Naga merupakan perwujudan dari
hewan yang hidup didalam air. Menurut budaya Kalimantan alam semesta dikuasai
oleh pohotara yang disimbolkan dengan burung , sedangkan alam bawah dikuasai
oleh juata yang disimbolkan dengan naga.
Dalam budaya masyarakat suku banjar
alam bawah merupakan milik Puteri Junjung Buih sedangkan alam atas milik
Pangeran Suryanata, mereka adalah pasangan suami isteri yang mendirikan dinasti
kerajaan Banjar. Dan dalam arsitektur rumah suku banjar , naga dan burung
diwujudkan dalam bentuk tatah ukiran yang disamarkan.
b.
kepercayaan mengenai kehamilan
pada masyarakat suku banjar maupun
suku dayak , seorang istri yang hamil dai kehamilan 1 bulan hingga 7 bulan diadakan acara mandi-
mandi atau yang disebut ” mandi tian mandaring”. Dan setelah lahir dilakukan
palas bidan dan kemudian dilanjutkan dengan acara sunatan.
Dan masyarakat suku banjar juga
mempercayai pantangan – pantangan yang harus dihindari oleh istri yang hamil
dan suaminya, yaitu:
·
tidak boleh duduk didepan pintu,
dikhawatirkan akan susah dalam melahirkan
·
tidak boleh keluar pada waktu
maghrib,karena akan diganggu oleh roh jahat
·
tidak boleh makan pisang dompet,
dikhawatirkan anak akan kembar siam
·
jangan membelah kayu api yang sudah
terbakar, karena anak yang dilahirkan bisa sumbing
·
dilarang pergi kehutan,karewna wanita
hamil baunya harum,dan dapat diganggu roh jahat
·
dilarang menganyam bakul, karena jari-
jari anak yang dilahirkan dapat dempet menjadi satu.
c.
Kepercayaan bubuhan banjar
Pada masyarakat suku banjar
dikalimantan, orang yang mendiami daerah tertentu akan melakukan upacara
setahun sekali yaitu upacara yang berkaitan dengan lingkungan. Para petani akan mengadakan selamatan sebelum melakukan
kegiatan bertani. Dan begitu juga para nelayan, akan melakukan Upacara Mapantari
Tasi dengan harapan mendapatkan tangkapan ikan yang lebih banyak di tahun
mendatang.
d.
Mantra
Masyarakat suku banjar mempercayai
mantra. Bagi masyarakat suku banjar mantra adalah suatu kekuatan yang dapat
menguntungkan bagi orang yang membacanya. Dan Pada
umumnya mantra memaparkan tentang adat istiadat, kepercayaan, tradisi masa
lampau, mata pencaharian, dan segala aspek kehidupan. Masyarakat suku banjar
dapat mempercayai mantra sebagai hal
yang mengandung kekuatan di sebabkan karena suku Banjar dulunya pernah menganut
agama Kaharingan yang mengakui adanya dua kekuatan, kekuatan alam atas dan
kekuatan alam bawah.
Masyarakat suku banjar telah
menganut agama islam maka mantra yang di ucapkan di awali dengan” basmallah”
dan di akhiri dengan “la illa ha illallah”.
e.
Bulan safar
Bagi masyarakay banjar , bulan
safar adalah bulan sial, bulan panas atau bulan yang harus diwaspadai
keberadaannya.hal ini dikarenakan, pada
bulan ini, segala penyakit, racun, dan hal-hal yang berbau magis memiliki kekuatan
yang lebih dibanding pada bulan lainnya.
Untuk menghindari itu smua , maka
orang banjar melakukan hal – hal sebagai
berikut, yaitu:
·
Sholat sunah mutlak yang disertai doa tolak bala
·
Selamatan kampung, yang disertai dengan
menulis wafak di atas piring
kemudian dibilas dengan air, seterusnya dicampurkan dengan air di dalam drum
supaya bisa dibagi-bagikan kepada orang banyak untuk diminum.
·
Mandi Safar untuk membuang
sial, penyakit, dan hal-hal yang tidak baik
·
Tidak bepergian jauh
·
Tidak melakukan hal-hal yang menjadi
pantangan.
f.
Mandi
taguh
Pada masyarakat suku banjar mandi
taguh ini sangat penting , karena diyakini dan dipercayai dapat menambah
kekebalan tubuh terhadap benda – benda tajam. Dan dalam sejarah banjar , Datu
Karipis, yang kebal kulitnya, tahan dari senjata tajam maupun senjata api dan
dikatakan seperti besi badannya, merupakan ilmuwan yang melestarikan mandi
taguh ini.
Dalam masyarakat banjar orang yang
memiliki kekebalan ini dapat di bagi 2 yaitu:
1. kelompok
yang kebal tubuhnya sejak pertama kali dilahirkan, sebab ketika dia lahir dalam
keadaan terbungkus oleh kulit atau yang sering disebut orang Banjar “lahir
bakulubut”. Yang Disebut juga dengan taguh bungkus atau taguh basalumur.
2. kelompok
yang memiliki ilmu kebal setelah melalui proses tertentu. Untuk mendapatkan
kekebalan tubuh, seperti memakai jimat – jimat.
Kematian
bagi masyarakat Banjar yang berada di Kalimantan Selatan, merupakan masalah
sosial karena ia tidak hanya melibatkan anggota keluarganya tetapi juga
masyarakatnya. Oleh karena itu, jika ada kematian, seluruh warga kampung datang
membantu keluarga yang sedang berkabung. Biasanya salah seorang perempuan dari
setiap keluarga datang ke rumah keluarga yang sedang berduka cita sambil
membawa sejumlah beras. Sementara itu, para lelakinya, disamping membantu dalam
persiapan penguburan, juga mempersiapkan kayu-kayu yang diperlukan untuk
masak-memasak dalam rangka selamatan (kendurian).
Masyarakat
Banjar identik beragama islam sehingga upacar kematian dalam adat suku Banjar
hampir sama dengan upacara kematian dalam islam.
Orang yang
meninggal, mayatnya ditutup dengan bahalai (kain panjang) kemudian dibaringkan
dengan posisi membujur ke arah baitullah (kiblat). Di sisinya disediakan buku
(Surat Yasin) atau Al Quran. Dengan demikian, siapa saja yang ingin mengirimkan
doa kepada yang meninggal dapat mengambil dan membacanya. Sementara itu, pihak
keluarga yang meninggal merundingkan mengenai proses pemakamannya, seperti:
memandikan mayat, waktu pemakaman, dan orang-orang yang menyembahyangkan mayat.
Sebagai catatan, jika ada ahli waris yang belum datang, maka penguburan
ditunda. Namun demikian, tidak boleh lebih dari 14 jam terhitung dari saat
seseorang meninggal. Jika yang ditunggu dalam waktu tersebut belum datang juga,
maka penguburan dilakukan (tidak perlu lagi menunggu ahli waris yang belum
datang).
a.
Proses Upacara Kematian
Sebagai
suatu proses, upacara kematian mesti dilakukan secara bertahap dan
berkesinambungan. Tahap-tahap itu adalah: memandikan mayat, menyembahyangkan
mayat, turun tanah, meniga hari, dan meyeratus hari. Berikut ini adalah uraian
yang lebih renci tentang tahap-tahap tersebut.
1. Tahap Memandikan Mayat
Orang-orang
yang dipilih untuk memandikan mayat umumnya adalah orang-orang yang saleh atau
para ulama atau orang-orang yang ahli dalam memandikan mayat. Jumlahnya
biasanya ganjil (bisa 3 orang, bisa 5 orang, atau 7 orang). Dari jumlah itu ada
yang disebut sebagai mirandu (ahli waris) yang dalam pemandian bertugas
membersihkan dubur dan kemaluan mayat. Sebelum mayat dimandikan, ia dibaringkan
di atas batang pohon pisang. Kemudian, mayat diwudlukan (seperti orang yang
akan sholat), selanjutnya disiram dengan air sabun sejumlah tiga kali, lalu
dengan air yang dicampur dengan kapur barus sejumlah tiga kali, dan akhirnya
disiram dengan air bersih, juga sejumlah tiga kali. Setelah itu, mayat dilapisi
dengan kain putih (tiga lapis). Selanjutnya, bagian-bagian tertentu, seperti:
muka, tapak tangan, dan kemaluan ditutup dengan kapas yang telah ditetesi
dengan minyak cendana. Sebagai catatan, sebelum muka mayat ditutup dengan kain
kavan (kain putih), para keluarganya diberi kesempatan untuk melihat yang
terakhir kalinya.
2. Tahap Menyembahyangkan Mayat
Setelah
tahap memandikan mayat selesai, maka tahap berikutnya adalah menyembahyangkan
mayat. Mayat yang telah dibaringkan dalam usungan (tandu) dibawa ke tempat
peribadatan (langgar atau surau atau mesjid) untuk disembahyangkan. Jumlah
orang yang menyembahyangkan minimal 40 orang. Jumlah tersebut oleh masyarakat
Banjar disebut satu-dirian. Adapun yang menjadi imam adalah orang yang
dipercayai atau ditunjuk oleh ahli waris.
3. Tahap Penguburan
Sebelum
mayat diusung ke pemakaman, yaitu ketika dibawa keluar dari tempat peribadatan,
anak dan atau cucunya disuruh untuk menyusup di bawah tandu. Maksudnya adalah
agar anak dan atau cucunya tadi tidak sakit-sakitan dan umurnya panjang.
Setelah itu, barulah mayat diusung ke tempat pemakaman (kuburan). Di sana telah
dibuat liang kubur yang sesuai dengan ukuran mayat. Setelah sampai di kuburan,
mayat dibaringkan dengan posisi miring ke kanan dan muka menghadap ke kiblat.
Selanjutnya, liang kubur ditimbuni dengan tanah kembali (tanah bekas galian).
Sebagai catatan, untuk daerah-daerah yang rendah (rawa-rawa), sebelum mayat
dikebumikan, ia dimasukkan dalam sebuah peti yang oleh masyarakat Banjar
disebut tabala. Oleh karena itu, ukuran liang lahatnya (kubur) lebih sempit
dibandikan dengan liang lahat pada tanah tinggi atau non-rawa-rawa (biasanya
hanya 1,5 depax3 jengkal).
Selanjutnya,
liang lahat yang telah ditimbuni dengan tanah sehingga membentuk gundukan itu,
diberi nisan dari pohon karambat atau kamboja. Setelah itu, mayat ditalqinkan
oleh orang alim. Maksudnya adalah agar almarhum kelak dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh malaikat. Dan, dengan berakhirnya
talqin, maka berakhir sudah acara pemakaman. Dan, sebagai catatan pula, semua
pakaian almarhum disedekahkan kepada fakir miskin dan orang-orang yang
memandikan Selain itu, mereka juga diberi piring, mangkok, dan gelas.
Sedangkan, penalqin diberi selembar tikar dan stoples yang berisi air yang
telah “dimantrai” (dibacakan ayat-ayat suci).
4. Tahap Selamatan atau Kendurian
Bagi
masyarakat Banjar, selamatan yang berkenaan dengan kematian tidak hanya
dilakukan pada malam pertama (turun tanah) saja, tetapi juga malam ke-2 (mendua
hari), ke-3 (meniga hari), ke-7 (memitung hari), ke-25 (mayalawi), ke-40
(mematang puluh), ke-50, 60, 70, 80, 90 yang disebut sebagai manyala ari, dan
ke-100 hari (manyaratus hari) terhitung dari meninggalnya seseorang.
Selamatan
atau kendurian, baik yang dilakukan pada hari pertama, kedua, dan seterusnya
(ke-100 hari) pada dasarnya sama, yaitu diikuti oleh sanak saudara, tetangganya
dan kenalannya; dimulai dengan tahlilan (zikir 100x), kemudian dilanjutkan doa
yang maksudnya adalah agar dosa-dosanya dimaafkan oleh Tuhan Yang Maha Esa,
diterima amal baktinya, sehingga dapat diterima di sisi-Nya; dan diakhiri
dengan penyantapan nasi beserta lauk-pauknya (daging ternak) dan apam surabi.
Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada perbedaan sama sekali. Perbedaan
tetap ada, khususnya yang berkenaan dengan sajian yang dihidangkan pada hari
yang ke-100. Hari yang ke-100 oleh masyarakat Banjar dianggap sebagai yang
terpenting. Oleh karena itu, setiap orang akan berusaha untuk menyelenggarakannya
secara lebih besar ketimbang hari-hari lainnya. Apalagi jika yang meninggal
termasuk orang yang terpandang dan meninggalkan harta yang banyak (berlimpah).
Dalam hal ini biasanya keluarga yang ditinggalkan akan menyeratus dengan
menyembelih kerbau atau sapi. Sebab jika tidak, keluarga tersebut akan dianggap
sebagai keluarga yang rakus terhadap apa yang warisan oleh yang meninggal.
b.
Nilai Budaya
Upacara
kematian adalah salah satu upacara di lingkaran hidup individu. Upacara
kematian yang dilakukan oleh masyarakat Banjar yang berada di Kalimantan
Selatan ini, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai
acuan dalam kehidupan bersama dan bekal kehidupan di kemudian hari. Nilai-nilai
itu antara lain kegotong-royongan, kemanusiaan, dan religius.
Nilai
kegotong-royongan tercermin dalam perilaku warga masyarakat di sekitar keluarga
yang sedang berkabung. Dalam hal ini, tanpa diminta, setiap keluarga datang
membantunya dengan mengirim salah seorang anggotanya (perempuan) ke rumah keluarga
yang sedang berkabung sambil membawa sejumlah beras. Sementara itu, para
lelakinya, disamping membantu dalam persiapan penguburan, juga mempersiapkan
kayu-kayu yang diperlukan untuk masak-memasak dalam rangka selamatan
(kendurian). (gufron).
c. Upacara
Kematian masyarakat banjar di kalimantan
Masyarakat Banjar
keyakinan yang mereka percayai akan memberi manfaat di Alam Kematian misalnya,
jika seseorang membaca tahli sebanyak 70.000 (tujuh laksa) kali maka akan
terselamatkan dari api neraka. Juga dengan memperbanyak amal jariyah dan ikut
mengaji tasawwuf. Kedua hal ini sering disebut dengan sangu tuha (bekal tua)
atau juga sangu akhirat (bekal akhirat). Ada juga yang mempersiapkan piring dan
gelas terbaik miliknya untuk diberikan kepada orang yang memandikannya. Ini
dilandasin dengan keyakinan bahwa hadiah peralatan tersebut dapat dipergunakan
di alam kematian kelak.
d. Peralatan
upacara kematian
Peralatan yang digunakan dalam upacar kematian dalam suku banjar adalah
:
·
Peralatan
memandikan jenazah.
Misalnya : balai-balai (amben), air, tempat air, gayung, dan sabu
·
Pengganjal
mayat di kubur
Biasa terbuat dari tanah galian yang dibentuk berupa bulatan besar
genggaman tangan dewasa yang berfungsi agar mayat tidak berubah posisinya yang
mengarah kiblat. Biasa bulatannya terdiri dari lima bulatan yang masing-masing
bulatan dibacakan surat Al-Qadar sebanyak masing-masing 5 kali.
·
Tandu
atau Keranda mayat
Tandu adalah alat yang digunakan untuk mengusung mayat dari rumah duka
ke tempat penguburan.
·
Kuburan.
Ukuran kuburan sesuai dengan ukuran tubuh mayat.
·
Tabala
atau peti jenazah
Tabala digunakan jika lubang kuburan berada di daerah rendah atau
rawa-rawa.
·
Waktu
dan Tempat upacara
Tempat
untuk melakukan prosesi upacara dilakukan dari halaman depan rumah mayat sampai
dengan tempat penguburan.
Waktu
penguburan mayat biasanya dilakukan setelah tengah hari yaitu 14.00- 16.00.
jika yang meninggal jam 12 siang biasa penguburan dilakukan keesokan harinya.
Sekaligus menunggu sanak saudara.
Daftar Situs Judi Bola Slot Online | Situs Judi Online bet365 bet365 코인카지노 코인카지노 クイーンカジノ クイーンカジノ 우리카지노 마틴 우리카지노 마틴 ミスティーノ ミスティーノ 온라인카지노 온라인카지노 코인카지노 코인카지노 904 Online Casinos That Accept Paypal in 2021 - CasinoFib
BalasHapus