Sejarah Gerakan Perempuan
A.Awal
Gerakan Perempuan di Dunia
Kami tidak
meminta untuk diistimewakan atau berusaha merebut kekuasaan tertentu. Yang
sebenarnya kami inginkan adalah sederhana, bahwa, mereka mengangkat kaki mereka
dari tubuh kami dan membiarkan kami berdiri tegap sama seperti manusia lainnya
yang diciptakan Tuhan (Sarah Grimke, 1837)
Awal
gerakan perempuan di dunia tercatat di tahun 1800-an . Ketika itu para
perempuan menganggap ketertinggalan mereka disebabkan oleh kebanyakan perempuan
masih buta huruf, miskin dan tidak memiliki keahlian. Karenanya gerakan
perempuan awal ini lebih mengedepankan perubahan sistem sosial dimana perempuan
diperbolehkan ikut memilih dalam pemilu. Tokoh-tokoh perempuan ketika itu
antara lain Susan B. Anthony, Elizabeth Cady Stanton dan Marry Wollstonecraft.
Bertahun-tahun mereka berjuang, turun jalan dan 200 aktivis perempuan sempat
ditahan, ketika itu.
Seratus tahun kemudian, perempuan-perempuan kelas menengah abad industrialisasi mulai menyadari kurangnya peran mereka di masyarakat. Mereka mulai keluar rumah dan mengamati banyaknya ketimpangan sosial dengan korban para perempuan. Pada saat itu benbih-benih feminsime mulai muncul, meski dibutuhkan seratus tahun lagi untuk menghadirkan seorang feminis yang dapat menulis secara teorityis tentang persoalan perempuan. Adalah Simone de Beauvoir, seorang filsuf Perancis yang menghasilkan karya pertama berjudul The Second Sex. Dua puluh tahun setelah kemunculan buku itu, pergerakan perempuan barat mengalami kemajuan yang pesat. Persoalan ketidakadilan seperti upah yang tidak adil, cuti haid, aborsi hingga kekerasan mulai didiskusikan secara terbuka. Pergerakan perempuan baik di tahun 1800-an maupun 1970-an telah membawa dampak luar biasa dalam kehidupan sehari-hari perempuan. Tetapi bukan berarti perjuangan perempuan berhenti sampai di situ. Wacana-wacana baru terus bermunculan hingga kini. Perjuangan perempuan adalah perjuangan tersulit dan terlama, berbeda dengan perjuangan kemerdekaan atau rasial. Musuh perempuan seringkali tidak berbentuk dan bersembunyi dalam kamar-kamar pribadi. Karenya perjuangan kesetraan perempuan tetap akan bergulir sampai kami berdiri tegap seperti manusia lainnya yang diciptakan Tuhan.
Seratus tahun kemudian, perempuan-perempuan kelas menengah abad industrialisasi mulai menyadari kurangnya peran mereka di masyarakat. Mereka mulai keluar rumah dan mengamati banyaknya ketimpangan sosial dengan korban para perempuan. Pada saat itu benbih-benih feminsime mulai muncul, meski dibutuhkan seratus tahun lagi untuk menghadirkan seorang feminis yang dapat menulis secara teorityis tentang persoalan perempuan. Adalah Simone de Beauvoir, seorang filsuf Perancis yang menghasilkan karya pertama berjudul The Second Sex. Dua puluh tahun setelah kemunculan buku itu, pergerakan perempuan barat mengalami kemajuan yang pesat. Persoalan ketidakadilan seperti upah yang tidak adil, cuti haid, aborsi hingga kekerasan mulai didiskusikan secara terbuka. Pergerakan perempuan baik di tahun 1800-an maupun 1970-an telah membawa dampak luar biasa dalam kehidupan sehari-hari perempuan. Tetapi bukan berarti perjuangan perempuan berhenti sampai di situ. Wacana-wacana baru terus bermunculan hingga kini. Perjuangan perempuan adalah perjuangan tersulit dan terlama, berbeda dengan perjuangan kemerdekaan atau rasial. Musuh perempuan seringkali tidak berbentuk dan bersembunyi dalam kamar-kamar pribadi. Karenya perjuangan kesetraan perempuan tetap akan bergulir sampai kami berdiri tegap seperti manusia lainnya yang diciptakan Tuhan.
B.Aliran-Aliran
Gerakan Perempuan
Gerakan perempuan
tidak pernah mengalami keseragaman di muka bumi ini. Antara satu negara dan
satu budaya dengan negara dan budaya lain, memiliki pola yang kadang berbeda, bahkan
ambivalen. Feminisme sebagai sebuah isme dalam perjuangan gerakan perempuan
juga mengalami interpretasi dan penekanan yang berbeda di beberapa tempat. Ide
atau gagasan para feminis yang berbeda di tiap negara ini misalnya tampak pada para
feminis Itali yang justru memutuskan diri untuk menjadi oposan dari
pendefinisian kata feminsime yang berkembang di barat pada umumnya. Mereka
tidak terlalu setuju dengan konsep yang mengatakan bahwa dengan membuka akses
seluas-luasnya bagi perempuan di ranah publik, akan berdampak timbulnya
kesetaraan. Para feminis Itali lebih banyak menyupayakan pelayanan-pelayanan
sosialdan hak-hak perempuan sebagai ibu, istri dan pekerja. Mereka memiliki UDI
(Unione DonneItaliane) yang setara dan sebesar NOW (National Organization for
Women) di Amerika Serikat. Pola penekanan perjuangan feminis Itali ini
mengingatkan kita pada gaya perjuangan perempuan di banom-banom NU di
Indonesia.
Hal yang sedikit
berbeda terjadi di Perancis. Umumnya feminis di sana menolak dijuluki sebagai
feminis. Para perempuan yang tergabung dalam Mouvment de liberation des femmes
ini lebih berbasis pada psikoanalisa dan kritik sosial. Di Inggris pun
tokoh-tokoh seperti Juliat Mitcell dan Ann Oakley termasuk menentang
klaim-klaim biologis yang dilontarkan para feminis radikal dan liberal yang
menjadi tren di tahun 60-an. Bagi mereka, yang bisa menjadi pemersatu kaum
perempuan adalah konstruksi sosial bukan semata kodrat biologinya.
Di dunia Arab,
istilah feminisme dan feminis tertolak lebih karena faktor image barat yang
melekat pada istilah tersebut. Pejuang feminis di sana menyiasati masalah ini
dengan menggunakan istilah yang lebih Arab atau Islam seperti Nisa’i atau
Nisaism.
Meski kemudian
definisi feminisme banyak mengalami pergeseran, namun rata-rata feminis tetap
melihat bahwa setiap konsep, entah itu dari kubu liberal, radikal maupun
sosialis tetap beraliansi secara subordinat terhadap ideologi politik tertentu.
Dan konflik yang terjadi di antara feminis itu sendiri sering disebabkan diksi
politik konvensional melawan yang moderat. Misalnya konsep otonomi dari kubu
feminis radikal berkaitan dengan gerakan antikolonial, sementara kubu feminis
liberal menekankan pada pentingnya memperjuangkan kesetaraan hak-hak perempuan
dalam kerangka bermasyarakat dan berpolitik yang plural. Inilah mengapa feminis
selalu bercampur dengan tradisi politik yang dominan di suatu masa.
Hingga bila dipilah-pilah berdasarkan tradisi politik yang berkembang, maka aliran-aliran dalam feminisme dapat dibedakan ke dalam kubu-kubu sebagai berikut :
1. Feminisme radikal
2. Feminisme liberal (Keduanya lebih mengedepankan klaim-klaim biologis, dan dikenal sebagai kelompok feminis-ideologis).
3. Feminisme sosialis atau feminisme Marxis: perempuan lebih dipandang dari sudut teori kelas, sebagai kelas masyarakat yang tertindas.
4. Feminisme ras atau feminisme etnis: yang lebih mengedepankan persoalan pembedaan perlakuan terhadap perempuan kulit berwarna.
5. Feminisme psikoanalisis, dan
6. Feminisme lesbian.
Dari semua aliran yang ada di atas, masih berpotensi untuk berkembang menjadi beberapa beberapa sempalan aliran lain, dan seperti yang telah diungkapkan di atas, wacana feminisme dan gerakan perempuan akan terus berkembang seiring dengan ragam perkembangan kelas masyarakat yang memperjuangkannya, kecenderungan kondisi sosial politik, serta kepentingan yang membingkai perjuangan tersebut.
Hingga bila dipilah-pilah berdasarkan tradisi politik yang berkembang, maka aliran-aliran dalam feminisme dapat dibedakan ke dalam kubu-kubu sebagai berikut :
1. Feminisme radikal
2. Feminisme liberal (Keduanya lebih mengedepankan klaim-klaim biologis, dan dikenal sebagai kelompok feminis-ideologis).
3. Feminisme sosialis atau feminisme Marxis: perempuan lebih dipandang dari sudut teori kelas, sebagai kelas masyarakat yang tertindas.
4. Feminisme ras atau feminisme etnis: yang lebih mengedepankan persoalan pembedaan perlakuan terhadap perempuan kulit berwarna.
5. Feminisme psikoanalisis, dan
6. Feminisme lesbian.
Dari semua aliran yang ada di atas, masih berpotensi untuk berkembang menjadi beberapa beberapa sempalan aliran lain, dan seperti yang telah diungkapkan di atas, wacana feminisme dan gerakan perempuan akan terus berkembang seiring dengan ragam perkembangan kelas masyarakat yang memperjuangkannya, kecenderungan kondisi sosial politik, serta kepentingan yang membingkai perjuangan tersebut.
Namun ada dua
kategori kecenderungan besar yang dapat disebutkan dan cukup dikenal dan
berpengaruh hingga sekarang, yakni: fenimisme ortodoks dan postfeminisme.
A. Feminisme ortodoks
Dikenal sebagai feminisme gelombang kedua, berkarakter sangat fanatik dan ortodoks dengan penjelasan-penjelasan wacana patriarkhal. Kaum feminis garis keras ini begitu yakin bahwa segala sesuatu yang menyusahkan dan menindas perempuan berhubungan dengan patrarkhal, hingga segala argumen hanya bertumpu pada penjelasan patrarkhal. Camille Paglia seorang profesor studi kemanusiaan dari Universitas Philadelphia mengkritik sikap feminis ortodoks sebagai kelompok yang selalu menganggap perempuan sebagai korban.
Dikenal sebagai feminisme gelombang kedua, berkarakter sangat fanatik dan ortodoks dengan penjelasan-penjelasan wacana patriarkhal. Kaum feminis garis keras ini begitu yakin bahwa segala sesuatu yang menyusahkan dan menindas perempuan berhubungan dengan patrarkhal, hingga segala argumen hanya bertumpu pada penjelasan patrarkhal. Camille Paglia seorang profesor studi kemanusiaan dari Universitas Philadelphia mengkritik sikap feminis ortodoks sebagai kelompok yang selalu menganggap perempuan sebagai korban.
Bagi kalangan
feminis ortodoks feminisme diartikan sebagai identifikasi dengan keinginan
kesetaraan gender lewat perjuangan historis yang dicapai dengan advokasi
melalui kegiatan politik. Feminisme memperlihatkan adanya perbedaan antara
femnin dan maskulin yang dikonstruksikan secara sosial dan budaya. Sedangkan
jantan (male) dan betina (female) merupakan aspek biologis yang menentukan
jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Perbedaan linguistik ini bagi feminis
ortodoks dianggap sebagai sesuatu yang ideologis. Sedangkan bagi kalangan
postfeminisme dianggap sebagai masalah.
Contoh dalam
penanganan kasus pemerkosaan atau kekerasan terhadap perempuan misalnya, mereka
akan mengandalkan argumen-argumen kelemahan perempuan, korban yang harus selalu
duilindungi dan selalu mengalami ketidakadilan dari masyarakat yang
patriarkhal. Argumen semacam ini terkesan manipulatif dan tidak bertanggung
jawab. Kalangan ini banyak diwakili oleh femnistes revolusionares (FR) yang
berdiri sejak tahun 1970 yang merupakan bagian dari Movement de Libaration des
Femmes (MLF) atau gerakan pembebasan perempuan. Kelompok FR ini tidak
menggunakan pendekatan psikoanalisa dan sangat mengagungkan kesetaraan serta
rata-rata didukung kalangan lesbian.
Teori dasar
kelompok FR adalah menentang determinisme biologis, yaitu perempuan
tersubordinasi dengan norma-norma maskulin, karena haluan ini (determinsime
biologis) menurut mereka merujuk pada pandangan tradisional esensialisme. Teori
ini (tradisonal esensial) menekankan bahwa perbedaan biologis antara laki-laki
dan perempuan adalah fixed atau kodrat yang tidak dapat berubah. Sementara
menurut FR perbedaan terjadi karena masyarakat patriarkhi menganggap perempuan
sebagai “the other” dalam tataran biologis dan psikis.
B. Postfemnisme
Kecenderungan feminisme ortodoks yang selalu melihat perempuan sebagai makhluk lemah tak berdaya dan korban laki-laki ini, tidak dapat diterima oleh perempuan-perempuan muda tahun 1900-an dan 2000 di beberapa negara maju. Retorika feminisme yang melekat pada “ibu-ibu” mereka terutama di tahun 70-an di daratan Amerika dan Inggris telah membuat generasi kuda “bosan” dengan femnisme. Feminisme sekan menjadi ukuran moralistik dan politik seseorang dan menjadi pergerakan kaum histeris, serta sangat mudah untuk menuduh dan melabeling seseorang dengan atribut “tidak femnis”. Kelompok inilah yang kemudian memperjuangkan postfeminisme.
Kecenderungan feminisme ortodoks yang selalu melihat perempuan sebagai makhluk lemah tak berdaya dan korban laki-laki ini, tidak dapat diterima oleh perempuan-perempuan muda tahun 1900-an dan 2000 di beberapa negara maju. Retorika feminisme yang melekat pada “ibu-ibu” mereka terutama di tahun 70-an di daratan Amerika dan Inggris telah membuat generasi kuda “bosan” dengan femnisme. Feminisme sekan menjadi ukuran moralistik dan politik seseorang dan menjadi pergerakan kaum histeris, serta sangat mudah untuk menuduh dan melabeling seseorang dengan atribut “tidak femnis”. Kelompok inilah yang kemudian memperjuangkan postfeminisme.
Bahkan embrio
kelompok ini sudah mulai muncul di tahun 1968 di Paris, tepatnya ketika mereka
(kelompok anggota po et psych/ politique et psychoanalyse) turun ke jalan pada
Hari Perempuan tanggal 8 Maret 1968 dan meneriakkan : Down with feminism. Sejak
tahun 1960 kelompok postfeminis ini telah berusaha mendekonstruksi wacana
pastriarkhal terutama wacana yang dikembangkan oleh feministes revolutionnaires
(FR).
Bagi kelompok poet
psych, posisi FR yang memakai semangat humanisme, jatuh lagi pada esensialisme
yang mempunyai kategori fixed. Oleh karenanya po et psych mengadopsi teori
psikoanalisa Freud yang mencoba menggunakan metode dekonstruksi dalam melihat
teks-teks ketertindasan perempuan. Selain itu kelompok ini tidak menekankan
pada kesetaraan (equality) seperti kelompok FR, yaitu identitas dan gender,
tetapi lebih menekankan pada perbedaan (diffrence). Di sini dapat dipahami bila
postfeminisme membawa paradigma baru dalam feminisme, dari perdebetan seputar
kesetaraan ke perdebatan seputar perbedaan.
Bagaimana
perkembangan aliran feminisme di Indonesia? Dapat dikatakan Indoensia masih
mengalami euforia feminisme. Dan seperti euforia lainnya, terkesan masih norak
dengan situasi yang baru, Feminis di Indonesia masih cenderung reaktif seperti
feminis di barat di era 60-an dan 70-an.
C.Gerakan
Perempuan Di Indonesia
Ketika masa
prakemerdekaan, gerakan perempuan di Indonesia ditandai dengan munculnya
beberapa tokoh perempuan yang rata-rata berasal dari kalangan atas, seperti: Kartini,
Dewi Sartika, Cut Nya’ Dien dan lain-lain. Mereka berjuang mereaksi kondisi
perempuan di lingkungannya. Perlu dipahami bila model gerakan Dewi Sartika dan
Kartini lebih ke pendidikan dan itu pun baru upaya melek huruf dan
mempersiapkan perempuan sebagai calon ibu yang terampil, karena baru sebatas
itulah yang memungkinkan untuk dilakukan di masa itu. Sementara Cut Nya’ Dien
yang hidup di lingkungan yang tidak sepatriarkhi Jawa, telah menunjukkan
kesetaraan dalam perjuangan fisik tanpa batasan gender. Apapun, mereka adalah
peletak dasar perjuangan perempuan kini.
Di masa
kemerdekaan dan masa Orde Lama, gerakan perempuan terbilang cukup dinamis dan
memiliki bergaining cukup tinggi. Dan kondisi semacam ini mulai tumbang sejak
Orde Baru berkuasa. Bahkan mungkin perlu dipertanyakan: adakah gerakan
perempuan di masa rejim orde baru? Bila mengunakan definisi tradisonal di mana
gerakan perempuan diharuskan berbasis massa, maka sulit dikatakan ada gerakan
perempuan ketika itu. Apalagi bila definisi tradisonal ini dikaitkan dengan
batasan a la Alvarez yang memandang gerakan perempuan sebagai sebagai sebuah
gerakan sosial dan politik dengan anggota sebagian besar perempuan yang
memperjuangkan keadilan gender. Dan Alvarez tidak mengikutkan organisasi
perempuan milik pemerintah atau organisasi perempuan milik parpol serta
organisasi perempuan di bawah payung organisasi lain dalam definisinya ini.
Namun definisi
baru gerakan perempuan tidak seketat ini, hingga dapat disimpulkan di masa Orba
pun telah muncul gerakan perempuan. Salah satu buktinya adalah munculnya
diskursus seputar penggunaan istilah perempuan untuk menggantikan istilah
wanita.
Gerakan perempuan
di masa rejim otoriter Orba muncul sebagai hasil dari interaksi antara
faktor-faktor politik makro dan mikro. Faktor-faktor politik makro berhubungan
dengan politik gender orba dan proses demokratisasi yang semakin menguat di
akhir tahun 80-an. Sedangkan faktor politik mikro berkaitan dengan wacana
tentang perempuan yang mengkerangkakan perspektif gerakan perempuan masa
pemerintahan Orba. Wacana-wacana ini termasuk pendekatan Women in Devolopment
(WID) yang telah mendominasi politik gender Orba sejak tahun 70-am, juga wacana
femnisme yang dikenal oleh kalangan terbatas (kampus/akademinis) dan ornop.
D.Politik
Gender dari Rezim Orba
Sebagaimana
negara-negara berkembang lainnya, pemerintahan Orba diidentikkan dengan
peratutaran yang otoriter yang tersentralisasi dari militer dan tidak
dikutsertakannya partisipasi efektif partai-partai politik dalam proses
pembuatan keputusan. Anders Uhlin berpendapat bahwa selain dominasi negara atas
masyarakat sipil, struktur ekonomi dan politik global, struktur kelas,
pembelahan atas dasar etnis dan agama, maka hubungan gender juga mendukung
kelanggengan kekuasaan rejim Orba.
Untuk memahami
politik gender ini sangat penting, menganalisis bagaimana rejim Orba ini
berhubungan dengan hubungan-hubungan gender sejak ia berkuasa setelah persitiwa
1965. Rejim Orba di bangun di atas kemampuannya untuk memulihkan ketaraturan .
Pembunuhan besar-besaran berskala luas yang muncul digunakan untuk memperkuat
kesan di masyarakat Indonesia bahwa Orla adalah kacau balau dan tak beraturan.
Rejim Orba secara terus-menerus dan sistemis mempropagandakan komunis adalah
amoral dan anti agama serta penyebab kekacauan.
Seterusnya
Gerwani sebagai bagian dari PKI juga menjadi alat untuk menciptakan pondasi
politik gender yang secara mendasar mendelegitimasi partisipasi perempuan dalam
kegiatan-kegiatan politik. Kampanye ini ternyata tidak hanya menghancurkan komunis,
tetapi juga menghancurkan gerakan perempuan. Kodrat menjadi kata kunci,
khususnya dalam mensubordinasi perempuan. Orba mengkonstruksikan sebuah
ideologi gender yang mendasarkan diri pada ibusime, sebuah paham yang melihat
kegiatan ekonomi perempuan sebagai bagian dari peranannya sebagai ibu dan
partisipasi perempuan dalam politik sebagai tak layak. Politik gender ini
termasnifestasikan dalam dokumen-dokumen negara, seperti GBHN, UU Perkawinana
No. 1/1974 dan Panca Dharma Wanita.
Dalam usaha untuk
memperkuat politik gender tersebut, pemerintah Orba merevitalisasi dan
mengelompokkan organisasi-organisasi perempuan yang berafiliasi dengan
departemen pemerintah pada tahun 1974. Organisasi-organisasi ini (Dharma
Wanita, Dharma Pertiwi dan PKK) membantu pemerintah menyebarluaskan ideologi
gender ala Orba. Gender politik ini telah diwarnai pendekatan WID sejak tahun
70-an. Ini dapat dilihat pada Repelita kedua yang menekankan pada “partisipasi
populer” dalam pembanguan, dan mengkonsentrasikan pada membawa perempuan supaya
lebih terlibat pada proses pembangunan.
Di bawah rejim otorioter, implikasi politik gender ini ternyata sangat jauh, tidak sekedar mendomestikasi perempuan, pemisahan dan depolitisasi perempuan, tetapi juga telah menggunakan tubuh perempuan sebagai instrumen-instrumen untuk tujuan ekonomi politik. Ini nampak pada program KB yang dipaksanakan untuk “hanya” perempuan dengan ongkos yang tinggi, yang khususnya dirasakan oleh perempuan kalangan bawah di pedesaan. Ringkasnya politik gender Orba telah berhasil membawa perempuan Indonesia sebagai kelompok yang homogen apolitis dan mendukung peraturan otiritarian.
Di bawah rejim otorioter, implikasi politik gender ini ternyata sangat jauh, tidak sekedar mendomestikasi perempuan, pemisahan dan depolitisasi perempuan, tetapi juga telah menggunakan tubuh perempuan sebagai instrumen-instrumen untuk tujuan ekonomi politik. Ini nampak pada program KB yang dipaksanakan untuk “hanya” perempuan dengan ongkos yang tinggi, yang khususnya dirasakan oleh perempuan kalangan bawah di pedesaan. Ringkasnya politik gender Orba telah berhasil membawa perempuan Indonesia sebagai kelompok yang homogen apolitis dan mendukung peraturan otiritarian.
E.Gerakan
Perempuan Masa Reformasi
Bila sistem
pemerintahan yang semakin demokratis dianggap paling kondusif bagi pemberdayaan
perempuan, maka di era reformasi ini semestinya pemberdayaan perempuan di
Indonesia semakin menemukan bentuknya. Bila ukuran telah berdayanya perempuan
di Indonesia dilihat dari kuantitas peran di sejumlah jabatan strategis, baik
di eksekutif, legislatif maupun yudikatif, jsutru ada penurunan di banidng
masa-masa akhir rejim orba. Namun, secara kualitatif, peran perempuan itu
semakin diperhitungkan juga di pos-pos strategis, seperti yang tampak pada
komposisi kabinet kita sekarang. Ini dapat digunakan untuk menjustifikasi,
bahwa mungkin saja kualitas perempuan Indonesia semakin terperbaiki.
Hanya saja harus
tetap diakui bahwa angka-angka peranan perempuan di sektor strategis tersebut
tidak secara otomatis menggambarkan kondisi perempuan di seluruh tanah air.
Bukti nyata adalah angka kekerasan terhadap perempuan masih sangat tinggi. Bila
pada jaman lampau kekerasan masih berbasis kepatuhan dan dominasi oleh pihak
yang lebih berkuasa dalam struktur negara dan budaya (termasuk dalam rumah
tangga), maka kini diperlengkap dengan basis industrialisasi yang mensuport
perempuan menjadi semacam komoditas.
titanium glasses - Tioga Art Institute of Art
BalasHapustitanium glasses. Visit Tioga Art Institute of Art and Culture and Culture to titanium cerakote find art. This website uses cookies. By continuing to micro titanium trim use titanium tent stove this website titanium bar you titanium scrap price acknowledge and