Sejarah Kebudayaan


Kebudayaan-kebudayaan prasejarah yang dibedakan menurut bahan alat-alatnya dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu zaman batu dan zaman logam.   Zaman logam bukan berarti berakhirnya zaman batu, karena pada zaman logam pun alat-alat dari batu terus berkembang bahkan sampai sekarang. Sesungguhnya nama zaman logam hanyalah untuk menyatakan bahwa pada zaman tersebut alat-alat dari logam telah dikenal dan dipergunakan secara dominan. Zaman logam disebut juga dengan zaman perundagian.  Di Indonesia khususnya dan Asia Tenggara umumnya tidak mengalami zaman tembaga tetapi langsung memasuki zaman perunggu dan besi. Kepandaian mempergunakan bahan baru tentu saja disertai dengan cara kerja yang baru. Sehinga muncul orang-orang terampil (undagi). Selain itu perkembangan yang mengarah kemajuan di alami dalam berbagai aspek kehidupan manusia.  Dalam pembuatan alat-alat dari logam tidak hanya digunakan untuk keperluan sehari-hari, akan tetapi alat-alat yang terbuat dari logampun dilibatkan dalam upacara-upacara tertentu.Untuk itu perlu adanya pembahasan lebih lanjut khususnya mengenai masa perundagian secara jelas.
A.PEMBABAKAN ZAMAN LOGAM
Pada zaman Logam orang-orang sudah dapat membuat alat-alat dari logam di samping alat-alat dari batu. Logam tidak dapat dipukul atau di pecah seperti batu yang dapat dibentuk sesuai dengan apa yang diharapkan, selain itu logam tidak dapat dengan mudah diperoleh seperti batu yang banyak terdapat di berbagai tempat. Semakin berkembangnya pengetahuan sehingga orang-orang mengenal teknik melebur logam, mencetaknya menjadi alat-alat yang dihendaki sesuai dengan keperluan. Teknik pembuatan alat logam ada dua macam, yaitu dengan cetakan batu yang disebut bivalve dan dengan cetakan tanah liat dan lilin yang disebut a cire perdue. Periode ini juga disebut masa perundagian karena dalam masyarakat timbul golongan undagi yang terampil melakukan pekerjaan tangan. Zaman logam ini dibagi menjadi tiga zaman diantaranya :
A.  Zaman Tembaga
Orang menggunakan tembaga sebagai alat kebudayaan. Alat kebudayaan ini hanya dikenal di beberapa bagian dunia saja. Di Asia Tenggara (termasuk Indonesia) tidak dikenal istilah zaman tembaga.
B. Zaman Perunggu
Pada zaman ini orang sudah dapat mencampur tembaga dengan timah dengan perbandingan 3 : 10 sehingga diperoleh logam yang lebih keras.
C. Zaman Besi
Pada zaman ini orang sudah dapat melebur besi dari bijinya untuk dituang menjadi alat-alat yang diperlukan. Teknik peleburan besi lebih sulit dari teknik peleburan tembaga maupun perunggu sebab melebur besi membutuhkan panas yang sangat tinggi, yaitu ±3500°C. Zaman logam di Indonesia di dominasi oleh alat-alat dari perunggu sehingga zaman logam juga disebut zaman perunggu. Alat-alat besi yang ditemukan pada zaman logam jumlahnya sedikit dan bentuknya seperti alat-alat perunggu, sebab kebanyakan alat-alat besi, ditemukan pada zaman sejarah. Antara zaman neolithicum dan zaman logam telah berkembang kebudayaan megalithicum, yaitu kebudayaan yang mengunakan media batu-batu besar sebagai alatnya, bahkan puncak kebudayaan megalithicum justru pada zaman logam.
B.CORAK KEHIDUPAN MASYARAKAT PADA ZAMAN PERUNDAGIAN
Kebudayaan dan masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Masyarakat dapat bertahan hidup karena menghasilkan kebudayaan, kebudayaan itu ada karena dihasilkan oleh masyarakat. Dan melalui kebudayaanlah segala corak kehidupan masyarakat dapat diketahui. Kebudayaan perungggu Asia Tenggara bisa dinamakan kebudayaan Dongson menurut nama tempat penyelidikan pertama di daerah Tonkin. Disana ditemukan segala macam alat-alat dari perunggu dan nekara, alat-alat dari besi dan kuburan-kuburan zaman itu.
A. Sistem Kepercayaan
Sistem kepercayaan masyarakat prasejarah diperkirakan mulai tumbuh pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut atau disebut dengan masa bermukim dan berladang yang terjadi pada zaman Mesolithikum. Mengenai bukti adanya kepercayaan pada zaman Mesolithikum bukti lain yang turut memperkuat adanya corak kepercayaan pada zaman prasejarah adalah ditemukannya lukisan perahu pada nekara. Lukisan tersebut menggambarkan kendaraan yang akan mengantarkan roh nenek moyang ke alam baka. Hal ini berarti pada masa tersebut sudah mempercayai akan adanya roh. Kepercayaan terhadap roh terus berkembang pada zaman prasejarah hal ini tampak dari kompleksnya bentuk-bentuk upacara penghormatan, penguburan dan pemberian sesajen. Kepercayaan terhadap roh inilah dikenal dengan istilah Aninisme. Aninisme berasal dari kataAnima artinya jiwa atau roh, sedangkan isme artinya paham atau kepercayaan. Di samping adanya kepercayaan animisme, juga terdapat kepercayaan dinamisme. Dinamisme adalah kepercayaan terhadap benda-benda tertentu yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Contohnya yaitu kapak yang dibuat dari batu chalcedon (batu indah) dianggap memiliki kekuatan. Dengan demikian kepercayaan masyarakat prasejarah adalah animisme dan dinamisme
B. Kemasyarakatan
Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, masyarakatnya hidup berkelompok dalam jumlah yang kecil. Tetapi hubungan antar kelompok sudah mulai erat karena mereka harus bersama-sama menghadapi kondisi alam yang kejam dan berat, sehingga sistem kemasyarakatan yang muncul pada masa tersebut sangat sederhana. Tetapi pada masa bercocok tanam, kehidupan masyarakat yang sudah menetap semakin mengalami perkembangan dan hal inilah yang mendorong masyarakat untuk membentuk keteraturan hidup. Dan aturan hidup dapat terlaksana dengan baik karena adanya seorang pemimpin yang mereka pilih atas dasar musyawarah. Pemilihan pemimpin tentunya tidak dapat dipilih dengan sembarangan, seseorang yang dipilih sebagai pemimpin adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan dengan roh-roh atau arwah nenek moyang demi keselamatan desa setempat, serta keahlian-keahlian yang lebih. Selanjutnya sistem kemasyarakatan terus mengalami perkembangan khususnya pada masa perundagian. Karena pada masa ini kehidupan masyarakat lebih kompleks. Masyarakat terbagi-bagi menjadi kelompok-kelompok sesuai dengan bidang keahliannya. Masing-masing kelompok memiliki aturan-aturan sendiri, dan di samping adanya aturan yang umum yang menjamin keharmonisan hubungan masing-masing kelompok. Aturan yang umum dibuat atas dasar kesepakatan bersama atau musyawarah dalam kehidupan yang demokratis. Dengan demikian sistem kemasyarakatan pada masa prasejarah di Indonesia telah dilandasi dengan musyawarah dan gotong royong.
C. Pertanian
Sistem pertanian yang dikenal oleh masyarakat prasejarah pada awalnya adalah perladangan, yang hanya mengandalkan pada humus, sehingga bentuk pertanian ini wujudnya berpindah tempat sesuai dengan tingkat kesuburan tanah. Apabila masyarakat menilai tanah sudah tidak lagi subur atau tidak ada humus, maka mereka akan pendah atau mencari tempat yang dianggap subur atau dapat di tanami tanam-tanaman. Selanjutnya masyarakat mulai mengembangkan sistem persawahan, sehingga tidak lagi bergantung pada humus, dan berusaha mengatasi kesuburan tanahnya melalui pengolahan tanah, irigasi dan pemupukan. Sistem persawahan dikenal oleh masyarakat prasejarah Indonesia pada masa neolithikum, karena pada masa tersebut kehidupan masyarakat sudah menetap dan teratur. Pada masa perundagian sistem persawahan mengalami perkembangan mengingat adanya spesialisasi atau pembagian tugas berdasarkan keahliannya. Sehingga masyarakat prasejarah semakin mahir dalam persaudaraan.
D. Pelayaran
Dengan adanya perpindahan bangsa-bangsa dari daratan Asia ke Indonesia membuktikan bahwa sejak abad sebelum masehi, nenek moyang bangsa Indonesia sudah memiliki kemampuan berlayar. Kemampuan berlayar terus mengalami perkembangan, mengingat kondisi geografis Indonesia terdiri dari pulau-pulau sehingga untuk sampai kepada pulau yang lain harus menggunakan perahu. Jenis perahu yang dipergunakan adalah perahu bercadik. Dari pembuatan perahu bercadik yang sederhana tetapi sudah mampu mengarungi samudera pada jaman prasejarah tersebut. Hal tersebut patutlah untuk dibanggakan kehebatan kemampuan berlayar nenek moyang bangsa Indonesia menjadi modal dasar dari kemampuan berdagang. Sehingga pada awal abad masehi bangsa Indonesia sudah turut ambil bagian dalam jalur perdagangan internasional.
E. Sosial-Ekonomi
Perkembangan kondisi sosial ekonomi masa Prasejarah di Indonesia sebenarnya mulai terlihat pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut atau  zaman Mesolitik. Pada masa ini manusia mulai menyadari pentingnya pola kehidupan menetap pada suatu tempat. Hal ini disebabkan adanya kemajuan dan perkembangan pengetahuan masyarakat masa itu dalam berusaha mengolah alam lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan hidup.  Pada kehidupan menetap ini kemudian memunculkan bentuk-bentuk rumah yang sangat sederhana sebagai tempat tinggal, tempat berlindung terhadap iklim dan cuaca, serta terhadap gangguan binatang buas. Berdasarkan studi analogi etnografi dapat diperkirakan bahwa bentuk rumah tingkat awal sekali adalah berukuran kecil, berbentuk kebulat-bulatan dengan atap yang dibuat dari daun-daunan. Bentuk rumah semacam ini diduga merupakan bentuk awal rumah di Indonesia, dan sampai saat ini masih dijumpai di daerah Timor, Kalimantan Barat, Nikobar, dan Andaman. Berawal dari adanya kelompok-kelompok masyarakat dalam suatu daerah tertentu, dan mengalami perubahan yang mengarah kepada sistem komunal. Di samping itu teknologi pembuatan perkakas juga semakin maju. Hal ini terbukti dengan mulai ditemukannya alat-alat batu yang diasah secara halus, yaitu yang dikenal dengan beliung persegi. Kemajuan pada aspek teknologi ini selanjutnya akan memunculkan adanya stratifikasi sosial tertentu dalam suatu komuniti, misalnya muncul golongan-golongan yang pandai dalam membuat beliung persegi, mulai dari pembuatan bentuk dasar (plank) hingga menjadi beliung persegi yang siap pakai. Selanjutnya dikenal pula teknologi pembuatan gerabah sebagi salah satu sarana kebutuhan hidup sehari-hari yang sangat penting. Di sinipun akan memunculkan golongan-golongan tertentu yang memiliki kepandaian dalam pembuatan gerabah. Perkembangan lainnya yang sangat mendasar pada masa ini adalah mulai dikenalnya bercocok tanam sederhana, yaitu dengan Sistem Tebas-Bakar. Pada masa perundagian ini pola kehidupan perkampungan mengalami perkembangan dan semakin besar, hal ini disebabkan dengan mulai bersatunya kampung- kampung, atau terjadinya sebuah desa yang besar. Munculnya desa-desa besar ini salah satunya disebabkan semakin tinggi frekuensi perdagangan antar perkampungan dalam bentuk tukar menukar barang (barter). Perpindahan penduduk melalui jalur pelayaran juga menjadi penyebab semakin padatnya populasi penduduk dalam suatu perkampungan.
Hal seperti ini dapat dibuktikan dari hasil ekskavasi di Situs Gilimanuk (Bali), yang berhasil diketahui jumlah penduduknya mencapai 300 orang. Dengan semakin luasnya hubungan antar wilayah maka kegiatan perdagangan pada masa perundagianpun menjadi semakin berkembang. Jenis-jenis barang daganganpun semakin kompleks karena hubungan-hubungan tersebut telah mencakup wilayah yang sangat luas. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya temuan benda-benda perunggu berupa nekara yang tersebar  hampir di seluruh wilayah Indonesia, yang berasal dari kebudayaan DongSon di Vietnam Utara.
Dalam kehidupan perkampungan ini mata pencaharian pokok adalah pertanian yang mulai dilakukan secara lebih teratur dan maju, yaitu dengan sistem pengairan dan sistem teras dalam pembuatan sawah-sawah. Hal ini juga didukung dengan semakin majunya sistem teknologi cetak peralatan dari logam (khususnya perunggu) untuk keperluan mengolah sawah. Usaha-usaha domestikasi hewanpun semakin memperlihatkan kemajuannya. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya temuan-temuan tulang-tulang hewan seperti babi, kerbau, kuda, anjing, dan beberapa jenis unggas pemukiman. Kemungkinan dilakukan untuk persediaan bahan makanan hewani, meskipun kegiatan perburuan masih dilakukan walau dengan jumlah yang lebih berkurang.
Salah satu benda perunggu yang memiliki nilai estetika dan ekonomis sangat tinggi, dan ditemukan hampir di seluruh wilayah Asia Tenggara adalah nekara. Nekara tersebut merupakan hasil kebudayaan Dongson di Vietnam Utara yang kemudian menyebar hampir seluruh wilayah Asia Tenggara. Hal ini sekali lagi telah membuktikan adanya hubungan secara sosial-ekonomis antara Indonesia dengan wilayah Asia Tenggara lainnya
Kegiatan ekonomis dalam bentuk perdagangan didorong oleh adanya temuan alat-alat transportasi air, yaitu perahu bercadik. Bentuk-bentuk perdagangan pada umumnya dilakukan dengan sistem tukar barang dengan barang. Kelangsungan hubungan perdagangan yang secara terus menerus dan cenderung semakin kompleks tersebut pada akhirnya memunculkan apa yang disebut dengan pasar dalam cakupan arti yang sederhana.
F. Sosial-Budaya
Seni ukir yang diterapkan pada benda-benda masa megalitikum dan seni hias pada
benda-benda perunggu menggunakan pola-pola geometrik sebagai pola hias utama. Hal ini terlihat dari temuan di Watuweti (Flores) yang menggambarkan kapak perunggu, perahu dan melukis unsur-unsur dalam kehidupan yang dianggap penting.
Pahatan-pahatan pada batu untuk menggambarkan orang atau binatang menghasilkan bentuk yang bergaya dinamis dan memperlihatkan gerak. Terdapat pula kecenderungan untuk melukiskan hal-hal yang bersifat simbolis dan abstrak-stelistis, seperti yang tampak pada gambar-gambar manusia yang diukir sebagai bulu burung bermata lingkaran pada nekara perunggu.
Berbagai benda diciptakan guna keperluan religius. Pola topeng pada nekara tipe Pejeng dan pada beberapa jenis peti kubur berfungsi magis sebagai penolak bahaya. Yang sangat menonjol pada masa perundagian ini adalah segi kepercayaan kepada pengaruh arwah (roh) nenek moyang terhadap perjalanan hidup manusia dan masyarakatnya. Dengan demikian pula kepada orang-orang yang meninggal diberikan penghormatan dan persajian selengkap mungkin dengan maksud mengantar arwah dengan sebaik-baiknya ketempat tujuanya, yaitu dunia arwah.
Kehidupan dalam masyarakat masa perundagian memperlihatkan rasa solidaritas yang kuat. Peranan solidaritas ini tertanan dalam hati setiap orang sebagai warisan yang telah berlaku sejak nenek moyang. Adat kebiasaan dan kepercayaan merupakan pengikat yang kuat dalam mewujudkan sifat itu. Akibatnya, kebebasan individu  agak terbatas karena adanya aturan-atauran yang apabila dilanggar akan membahayakan masyarakat. Pada masa ini sudah ada kalkus kepemimpinan dan pemujaan kepada sesuatu yang suci diluar diri manusia yang tidak mungkin disaingi  serta berada diluar batas kemampuan manusia.
Dalam masyarakat ini mulai jelas mulai tampak perbedaan golongan-golongan tertentu seperti golongan pengatur upacara-upacara yang berhubungan dengan kepercayaan, petani, pedagang dan pembuat benda-benda dari logam (pandai logam).
G. Kemajuan Teknologi
Pada bidang teknologi, di samping berusaha menciptakan perkakas untuk keperluan sehari-hari, kemudian mengalami kemajuan dengan mulai diciptakannya benda-benda yang tidak saja bernilai profan tetapi yang bernilai estitika dan ekonomis. Pada teknologi pembuatan gerabah misalnya, ternyata di samping membuat untuk keperluan sehari-hari, mulai dilakukan juga pembuatan gerabah yang bernilai seni dan ekonomis. Hal ini dapat dilihat bahwa selain membuat benda-benda berupa periuk, cawan, tembikar, juga mulai dibuat bentuk-bentuk gerabah dengan aneka motif hiasan. Keragaman bentuk dan motif hias gerabah Indonesia ini kemudian memunculkan beberapa kompleks pembuatan gerabah yang sangat menonjol, antara lain kompleks gerabah Buni, (Bekasi), komplek gerabah Gilimanuk (Bali), dan kompleks gerabah Kalumpang (Sulawesi Selatan).
Dari perkembangan teknologi pembuatan gerabah di beberapa situs tersebut, dilihat dari bentuk dan motif hiasnya serta proses pembuatannya, ternyata teknologi tersebut mendapat pengaruh dari luar sebagai akibat adanya hubungan-hubungan seperti disebutkan di atas. Pengaruh-pengaruh tersebut antara lain dari tradisi gerabah Sahuynh dari Vietnam dan tradisi Kalanay dari Filipina.
Pada teknologi pembuatan benda-benda logam (khusus perunggu) kemudian juga mengalami perkembangan yang sangat pesat. Di samping membuat perkakas untuk keperluan sehari-hari (misalnya kapak, corong, tajak dan sebagainya) mulai dikembangkan pula pembuatan benda-benda yang memiliki nilai estetika dan ekonomis, misalnya nekara, boneka perunggu, gelang, cincin, bandul kalung, dan sebagainya. Benda-benda tersebut ternyata menjadi salah satu komoditi dalam hubungan perdagangan antara Indonesia dengan wilayah Asia Tenggara lainnya.
C.KEMAHIRAN MEMBUAT ALAT
A. Kemahiran Membuat Alat
Dalam masa perundagian ini, teknologi berkembang dengan pesat. Di pihak lain, terjadi peningkatan usaha perdaganganyang mengalami kemajuan. Teknologi pelayaran juga menentukan perkembangan teknologi secara umum. Hal tersebut berpengaruh pula pada sistem sosial yang telah mengklasifikasikan dari dalam segmen-segmen sosial-ekonomi karena pola-polanya telah terbentuk.
Pada masa ini merupakan awal dari kemajuan, karena di zaman perundagian ini sudah mulai menganal teknik peleburan, percampuran, penempaan dan pencetakan jenis-jenis logam seperti tembaga, perunggu dan besi.
Di Asia Tenggara logam mulai dikenal kia-kira 3000-2000 S.M. Di Indonesia penggunaan logam diketahui pada masa beberapa abad sebelum masehi, hal ini berdasarkan temuan-temuan arkeologis. Indonesia hanya menganal alat-alat yang dibuat dari perunggu dan besi, sedangkan perhiasan telah mengenal emas.
Penggunaan logam tidak seketika menyeluruh di Indonesia, tetapi berjalan setahap demi setahap. Sedangkan beliung dan kampak batu masih digunakan. Benda-benda perunggu yang ditemukan di Indonesia menunjukan persamaan dengan temuan-temuan di Deng Son (Vietnam) diperkirakan adanya hubungan budaya.
Jenis-jenis perhiasan pun beraneka ragam berupa gelang, cincin, bandul, kalung dan sebagainya yang terbuat dari perunggu, kulit kerang, tulang, batu dan kaca.
B. Benda-Benda Perunggu
Jenis benda perunggu yang dikenal di Indonesia ialah nekara, kapak, bejana, boneka atau patung, perhiasan dan senjata. Namaun yang menarikperhatian adalah nekara. Benda-benda lain sebenarnyatelah mendapatkan perhatian sejak abad ke-19, misalnya kapak corong, cincin, mata tombak, kapak upacara (candrasa).
Dari penyelidikan dalam zaman perundagian pula orang-orang telah pandai membuat dan menuang kaca. Hanya saja tekniknya masih sederhana kadang masih tercampur pasir.
Nekara
Nekara merupakan semacam berumbung yang terbuat dari perunggu yang berpinggang dibagian tengahnya dan sisi atasnya tertutup. Diantara nekara yang ditemukan di Indonesia hanya beberapa saja yang ditemukan dalam keadaan utuh. Nekara banyak ditemukan di Sumatra, Jawa, Bali, Pulau Sangean dekat Sumbawa, Roti, Leti, Selayar dan di Pulau Kei.
Nekara yang ditemukan di Indonesia pada umumnya bertipe Pejen. G.E. Rumphias pada tahun 1704 menguraikan nekara dari Pejeng (Bali). E.C. Barchowitz menguraikan nekara dari Pulau Luang (NTT). A.B. Meyer menemukan nekara dari Jawa, Salayar, Luang, Roti dan Leti.
Nekara tipa Pejen berukuran kecil yang disebut “moka” atau “maka”, adapun tipe Heger I dan tipe Heger IV. Bentuk nekara Pejeng pada umumnya tersusun dalam tiga bagian yaitu :
  • Bagian atas terdiri dari bidang pukul yang bergaris tengah 1,60m menjorong 25m ke luar.
  • Bagian bahu yang meluas ke bawah dan melengkung ke dalam dibagian pinggang yang berbentuk silinder.
  • Bagian kaki berbentuk genta yang melebar di bagian bawah.
Menurut pendapat para ahli gambar-gambar yang terdapat di nekara seperti nekara yang berhiaskan gambar kapal dengan bagian depan dan belakangnya berbentuk kepala dan ekor burung dan terdapat lukisan orang yang disamarkan merupakan bukan lukisan perahu-perahu yang dipergunakan untuk berlayar, melainkan melukiskan perahu mayat yang membawa roh orang yang telah mati dari dunia ke akhirat.
Kapak Perunggu
Secara tipologis kapak perunggu dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu kapak corong dan kapak upacara. Kapak corong disebut juga kapak sepatu, maksudnya kapak yang bagian atasnya berbentuk corong yang sembirnya belah, sedangkan dalam corong itulah dimasukan tangkai kayunya yang menyiku kapada bidang kapak. Jadi seolah-olah kapak disamakan dengan sepatu dan tangkainya diibaratkan sebagai kaki orang.
Van Heekeren mengklasifikasikan menjadi kapak corongkapak upacara dan kalak tembilang (tajak). Soejono membagi kapak perunggu menjadi delapan yaitu :
Ø  Tipe I (tipe umum). Bentuknya lebar dengan panjang yang lonjong, garis puncak (pangka), tangkainya cekung dan bagian tajam cembung.
Ø  Tipe II (tipe ekor burung seriti). Bentuk tangkai dengan ujung yang membelah seperti ekor burung seriti, ujung tajam cembung, belahan pada ujung ada yang dalam dan ada yang dangkal.
Ø  Tipe III (tipe pahat). Bentuk tangkai menyempit dan lurus ada yang pendek dan lebar. Bentuk tajam cembung dan lurus, kapak terbesar berukuran 12,2 x 5,8 x 1,7 cm dan terkecil 5,4 x 3,6 x 1,3 cm.
Ø  Tipe IV (tipe tembilang). Bentuk tangkai pendek, mata kapak gepeng, bagian bahu lurus kea rah sisinya. Ukuran terbesar 15,7 x 9,6 x 2 cm dan terkecil 13,4 x 6,5 cm.
Ø  Tipe IV (tipe tembilang). Bentuk tangkai pendek, mata kapak gepeng, bagian bahu lurus kea rah sisinya. Ukuran terbesar 15,7 x 9,6 x 2 cm dan terkecil 13,4 x 6,5 x 1,6 cm.
Ø  Tipe V (tipe bulan sabit). Mata kapak berbentuk bulan sabit. Bagian tengah lebar dan menyempit, tangkai lebar dan bagian tajamnya menyempit. Jenis terbesar berukuran 16,5 x 15,6 x 3,4 cm dan terkecil 7,2 x 5,2 x 4,5 cm.
Ø  Tipe VI (tipe jantung). Bentuk tangkai panjang dengan pangkal cekung, bagian bahu melengkung. Ukuran terbesar 39,7 x 16,2 x 1,5 cm dan terkecil 13 x 7,2 x 0,6 cm.
Ø  Tipe VII (candrasa). Tangkai pendek dan melebar pada pangkalnya, mata kapak tipis dengan kedua ujungnya lebar. Kapak ini sangat besar dan pipih yang terbesar 133,7 cm dan terkecil 37 cm.
Ø  Tipe VIII (tipe kapak roti). Keseluruhannya gepeng berukuran 90 cm. pangkal tangkai cakram. Cakram ini dihiasi dengan pola roda atau pusaran (whirl).
Kapak corong ditemukan di Sumatra Selatan, Jawa, Bali, Sulawesi Tengah dan Selatan, Pulau Selayar dan di Irian dekat danau Sentani. Tidak semua kapak dipergunakan sebagai kapak. Yang kecil umpamanya mungkin sebagai tugal, sedangkan yang indah dan candrasa dipergunakan sebagai tanda kebesaran dan alat upacara saja. Di Bandung ditemukan cetakan-cetakan dari tanah baker untuk menuangkan kapak corong.
Bejana
Di Indonesia di temukan dua bejana yaitu di Sumatra dan Madura. Bejana perunggu berbentuk bulat panjang seperti keranjang tempat ikan yang diikat di pinggang. Bejana ini dibuat dari dua lempengan perunggu yang cembung diletakan dengan pacuk besi pada sisinya.
Bejana perunggu yang ditemukan di Kerici (Sumatra), bentuknya seperti periuk tetapi langsing dan gepeng berukuran panjang 50,8 cm dan lebar 37 cm. Sedangkan bejana yang ditemukan di Sampang (Madura)mempunyai ukuran tinggi 90 cm dan lebar 54 cm. Kedua-duanya memiliki hiasan ukiran yang serupa dan sangat indah, berupa gambar-gambar geometrid an pilin-pilinyang mirip huruf ‘j’.
Patung
Seni patung rupanya mengalami kemajuan, beberapa buah patung diantaranya arca-arca orang yang sikapnya aneh dan satu arca berbentuk kerbau. Ada pula yang berbentuk cincin yang sangat kecil yang diperkirakan sebagai alat penukaran (uang).
Patung-patung yang ditemukan di Indonesia memiliki bentuk seperti orang atau binatang. Patung yang berbentuk orang antara lain berupa penari yang bergaya dinamis. Patung ini beragam bentuk (sikap) baik lurus, melompat, kesamping atau kedepan yang menunjukan babak-babak sebuah tarian. Patung besar berukuran kira-kira 9,4 cm. sedangkan patung berbentuk binatang ditemukan di Limbang (Bogor). Patung yang menggambarkan hewan kerbau berukuran panjang 10,9 cm dan tinggi 7,2 cm.
Perhiasan
Biasanya dibuat berupa gelang, cincin, kalung dan hiasan lainnya. Gelang yang berhias pada umumnya besar dan tebal. Pola hias pada gelang-gelang berupa pola tumpal, garis tangga dan duri ikan.
D.Teknik Pembuatan Benda Perunggu
Cara mengelola logam berbeda dengan cara mengelola batu untuk di bentuk sedemikian rupa agar menjadi sesuatu yang dihendaki. Batu lebih mudah dibentuk, sedangkan loham harus melakukan cara-cara atau teknik-teknik tertentu untuk membentuk logam itu sesuai dengan apa yang dihendaki. Teknik pembuatan benda logam atau perunggu ada dua macam :
1.   Teknik Setangkup (Bivalve)
Teknik cetakan setangkup menggunakan dua cetakan yang dapat di tangkupkan. Cetakan diberi lubang pada bagian atas, dari lubang itu dituangkan logam cair. Bila sudah dingin, maka cetakan di buka dan selesailah pengerjaannya. Pembuatan benda-benda perunggu dari cara seperti ini dapat dikatakn praktis dan benda atau alat-alatnya bersifat tahan lama, sehingga dapat dipergunakan kembali. Namun hanya dapat mencetak satu jenis saja atau tidak bervariasi.
2. Teknik Cetakan Lilin (à cire perdue)
Teknik cetakan lilin mempergunakan bentuk benda yang terlebih dahulu terbuat dari lilin yang berisi tabah liat sebagai inti. Lilin di bentuk sesuai dengan keinginan. Setelah lengkap lilin dibungkus dengan tanah liat yang lunak, agar tanah liat mengikuti bentuk dari lilin tersebut. Pada bagian atas dan bawah diberi lubang, dari atas tuangkan perunggu cair dan dari bawah akan mengalir lilin yang meleleh. Bila telah dingin maka cetakan di pecah dan selesai. Teknik ini lebih sukar dibandingkan dengan teknik setangkup karena banyak langkah yang harus dilakukan, namun benda yang dihasilkan lebih bervariasi.
C. Benda-Benda Besi
Jenis-jenis benda besi dapat digolongkan sebagai alat keperluan sehari-hari dan senjata. Benda-benda besi yang banyak ditemukan berupa :
·         Mata kapak atau sejenis beliaung yang diikat secara melintang pada tangkai kayu
·         Alat bermata panjang dan gepeng dan mungkin digunakan untuk merapatkan benang-banang kain tenun
·         Mata pisau
·         Mata sabit yang berbentuk melingkar
·         Mata alat penyiang rumput
·         Mata pedang
·         Mata tombak
D. Gerabah
Dalam masa perundagian, pembuatan gerabah lebih maju dari masa sebelumnya. Peranan gerabah dalam kehidupan masyarakat dianggap penting dan fungsinya tidak dapat dengan mudah digantikan dengan alat logam. Hal ini terbukti dengan ditemukan gerabag  di banyak daerah.
Gerabah Malolo dapat digolongkan sebagai komples gerakan yang berkembang di masa perundagian. Pada umumnya gerabah digunakan untuk kepentingan sehari-hari, sedangkan dalam upacara keagamaan gerabah digunakan sebagai tempayan kubur dan sebagai bekal kubur. Kebudayaan gerabah terbagi menjadi tiga kompleks diantaranya :
Ø  Kompeks gerabah Buni
Ø  Kopleks gerabah Gilimanuk
Ø  Kompleks gerabah Kalumpang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bangunan Bersejarah di Kabupaten Batubara

Suku Banjar di Kalimantan

Suku Banjar di Kalimantan